Sepenggal Cerita dari TPA Rawa Kucing

Pemulung di TPA RAwa Kucing, Kota Tangerang Pemulung di TPA RAwa Kucing, Kota Tangerang Khanif

detakbanten.com Kota Tangerang-Potret kota besar tak bisa lepas dari kemacetan, kemiskinan, pengangguran, dan padatnya penduduk. Mengais rezeki dari kumpulan sampah bukanlah pilihan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat segelintir orang memilih menjadi pemulung.

Waktu belum menunjukkan pukul 10.00 WIB. Tapi keringat Sapardi, 42 tahun, sudah bercucuran. Bersama puluhan rekan se profesinya, ia masih sibuk berebut mencari sisa-sisa plastik yang bisa didaur ulang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing, Kecamatan Neglasari.
Aroma tak sedap sepertinya sudah akrab di hidung para pemulung. Seakan tak mengganggu, ayah dua anak ini masih fokus mengorek sampah yang baru saja turun dari truk milik Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang. Dari kejauhan, terlihat beberapa alat berat sibuk membolak-balik menata sampah agar tak menggunung.
Sudah tiga tahun belakangan ini, Sapardi memilih untuk 'bekerja' sebagai pemulung. Ijazah SD yang dimilikinya sepertinya sudah tak berlaku lagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
"Kalau tidak seperti ini, anak mau makan apa? Daripada menganggur di rumah, lebih baik menjadi pemulung. Yang penting halal," ujar pria asal Magetan, Jawa Timur.
Bukan tanpa kendala, bergelut dengan tumpukan sampah membuatnya rentan terhadap penyakit. Sudah beberapa kali, dirinya mengaku terserang penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan gatal-gatal.
Penghasilan yang tak seberapa tetap disyukurinya. Meski hidup serba kekurangan, menurutnya asal anak masih makan dan sekolah masih bagus.
Begitu juga Marsinah, 39 tahun, istri Sapardi. Ia juga ikut menjadi pemulung satu tahun belakangan ini. "Anak kan udah SMP, jadi bisa ditinggal. Lumayan lah membantu suami daripada dam saja di rumah," tambahnya.
Dalam sehari, Sapardi dan istri bisa membawa uang Rp40 ribu sampai Rp50 ribu, tergantung dari hasil pulungannya. Jelas saja tidak cukup, mungkin hanya cukup untuk membayar kontrakan dan listrik. Namun, hal itu tetap disyukurinya.
Ia hanya berharap, kedua anaknnya bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Hidup lebih baik di masa mendatang. Tidak seperti kedua orangtuanya yang hanya menempuh SD.

 

 

Go to top