Ahli HAN: HPS Tidak Bisa Dijadikan Dasar Menghitung Kerugian Keuangan Negara

Ahli HAN: HPS Tidak Bisa Dijadikan Dasar Menghitung Kerugian Keuangan Negara

detakbanten.com SERANG - Sidang dugaan tindak pidana korupsi pengadaan genset pada Tahun 2015, sebesar Rp 2.2 miliar yang menyeret Direktur RSUD Banten, dr Sigit Wardaja, staf CPNS Adit Hirda Restian dan Direktur CV. Megah Tekhnik, Endi Suhendi kembali digelar. Rabu, 13/2/2019.

Agenda sidang di Pengadilan Tipikor PN Serang kali ini menghadirkan saksi ahli Hukum Administrasi Negara, Dr Firdaus dari Unirta yang dihadirkan oleh dr Sigit, dan dua saksi a de charge, yaitu Dede Suparman dan Bambang yang dihadirkan oleh Endi dan Adit.

Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN), Dr. Firdaus dalam pendapatnya menyampaikan, yang menjadi ruang dari pengadaan barang dan jasa adalah Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya Perpres No 70 Tahun 2012 dengan tegas mengatur mengenai tugas dan fungsi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

"Itu undang-undangnya, peraturan dan kewenangannya ada dalam Perpres tersebut. Yang disebut dengan PPK adalah yang menandatangani kontrak dan pembayaran, bukan sebagai pada saat kekosongan jabatan, kemudian diisi oleh Plt yang kewenangannya dibatasi," katanya.

Menurut Firdaus, apabila mau berhukum, mau menegakan hukum yang merncanakan kegiatan dan yang menandatangi kontrak, itulah yang seharusnya mempertanggungjawabkan. Sedangkan posisi Sigit Wardaja berada ditengan-tengah yang tidak merencanakan dan tidak menandatangani kontrak.

"Kasus ini sungguh luar biasa, sudah tegas dalam Perpres diatur bahwa HPS tidak bisa dijadikan untuk menghitung kerugian negara, lalu dipaksa harus terbukti dan menabrak aturan yang memayunginya, ini cara berhukum model apa jika sudah begini," jelasnya.

Sementara saksi Dede Suparman menyampaikan, dia termasuk sebagai tenaga tekhnisi yang dilampirkan dalan perusahaan Endi sebagai tekhnisi K3.

"Saya hadir pada saat pembuktian bersama Endi, sedangkan Robi dan Heri saya tidak kenal, dan pembuktian itu hanya melakukan pembuktian keaslian dokumen," katanya

Bambang saksi dari PPILN membenarkan bahwa Sertifikat Laik Operasi (SLO) yang diminta oleh Endi yang mengeluarkan lembaganya. Sertifikat tersebut diberikan sebagai lisensi keamanan konsumen terhadap instalasi yang tersambung.

Jadi pekerjaan instalasi tegangan rendah, dalam kemanan konsumen SLO diwajibkan dimiliki dengan beberapa syarat yang sudah ditetapkan berdasarkan UU No 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan.

"Kalau biasa SLOnya sekitar 7 juta untuk 500 KVA, tapi mengenai gambar dan registrasi ada asosiasi lain yang mengurus, harganya tergantung si pemohon dan yang mengeluarkan gambar, kita hanya masuk pada wilayah sertifikatnya saja," urainya.

Mengenai SLO antara Jaksa Penuntut Umum, Kartono dengan Kuasa Hukum terdakwa, Dadang Handayani sempat bersitegang. Beruntung insiden tersebut dapat diredakan sehingga keterangan saksi dapat dilanjutkan

Dadang Handayani usai sidang menyampaikan, bahwa dalan kasus ini dari awal sudah dipaksakan dan mencari-cari salahnya Adit dan Endi, sedangkan yang menjadi otak dari perbuatan tersebut dibiarkan bebas.

"Gimana tidak zhalim, saya dukung upaya penegakan hukum, apalagi dalam kasus tipikor. Orang yang baru belajar hukum saja pasti miris melihat kasus ini, coba CPNS yang tidak memiliki kekuasan dan jabatan didakwa nguasai data, kemudian ada kerugian keuangan negara, kerugian dimananya, coba berani tidak itu otak pelakunya diadili, jangan main pilih-pilih kaya gini, kacau ini," tandasnya

 

 

Go to top