Sebaliknya, setelah kemerdekaan diraih, perjuangan justru akan semakin sulit karena melawan bangsa sendiri. Kemerdekaan, di satu sisi memberikan kedaulatan dan martabat, namun di sisi lain juga memberikan peluang terjadinya perbenturan pelbagai kepentingan dan tumbuhnya sifat egoisme-primitif yang mengejawantah menjadi musuh dan ancaman bagi eksistensi bangsa, salah satunya adalah budaya korupsi.
Di era orde lama dan orde baru baru, praktik korupsi di Indonesia masih bersifat sentralistik mengingat sistem pemerintahannya bersifat terpusat. Kemudian, munculah era rennaisans Indonesia (era reformasi) yang menghendaki adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Sejak era reformasi inilah, Indonesia justru bertransformasi sebagai labirin praktik korupsi. Korupsi tumbuh secara masif dalam berbagai motif dan segala lini baik secara vertikal maupun horizontal. Bak labirin, Indonesia kini menghadapi turbulensi dan kebingungan dalam melawan praktik korupsi.
Bagaimana cara dan dari mana dimulai agenda-agenda fundamental pemberantasan korupsi agar bangsa ini dapat keluar dari labirin korupsi? Hal tersebut merupakan pertanyaan klise yang bisa dimaknai sebagai sarkasme untuk merefleksikan betapa parahnya praktik korupsi di negeri ini.
Ironisnya, beberapa agenda reformasi yang dahulu digaungkan sebagai jalan keluar bagi praktik pemerintahan yang lebih baik, justru saat ini menjadi celah dan penyebab tumbuhnya budaya korupsi. Agenda otonomi daerah dan desentralisasi menyebabkan praktik korupsi meluas hingga kabupaten/kota bahkan desa. Pemilu atau pilkada langsung menyebabkan maraknya praktik politik uang yang menjadi causa proxima tumbuhnya praktik korupsi. Agenda pemberantasan korupsi pun demikian, tidak mampu secara signifikan untuk melepas jerat dari labirin korupsi.
Perihal agenda pemberantasan korupsi, secara infrastruktur, legal substance, dan sistem memang era pasca reformasi jauh lebih complicated dari pada era sebelum reformasi. Namun secara outcome, realitas agenda pemberatasan korupsi seakan masih berjalan stagnan. Banyak faktor yang menyebabkan agenda pemberantasan korupsi seakan kurang tajam dalam menjebol labirin korupsi, salah satunya yang paling krusial adalah lemahnya penegakan hukum.
Anomali Mahkamah Agung
Lemahnya penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi penulis bagi dalam dua tataran, yakni hulu dan hilir. Hulu adalah ranah di mana potensi terjadinya korupsi muncul, yakni dalam tataran kontestasi politik. Praktik politik uang sudah menjadi praktik sub-kultur masyarakat ketika pesta demokrasi datang. Sayangnya, praktik ini tidak mampu dicegah dengan penegakan hukum yang tegas dan konsekuen baik penegakan hukum publik (pidana) maupun penegakan hukum administratif.
Kemudian dalam tataran hilir, lemahnya penegakam hukum tindak pidana korupsi dapat dilihat dari rendahnya vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama Januari hingga Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan hanya 3 tahun penjara. Selama Januari hingga Juni 2020 terdapat 1008 perkara korupsi dan 1043 terdakwa yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung.
Rinciannya, pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan penjara. Pengadilan tinggi menyidangkan 162 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 3 tahun 6 bulan penjara. Tingkat kasasi dan peninjauan kembali di mahkamah agung terdapat 8 perkara dengan rata-rata vonis 4 tahun 8 bulan penjara. Bahkan untuk kasus korupsi tindak pidana suap yang ancaman hukuman maksimalnya 5 tahun penjara, rata-rata hukuman yang dijatuhkan kepada 74 terdakwa hanya 1 tahun 7 bulan penjara. Realitas demikian menunjukkan bahwa korupsi yang berlabel extraordinary crime, yang bisa dimaknai sebagai kejahatan yang luar biasa dan reasonable untuk dijatuhkan pidana yang lebih berat dari tindak pidana biasa nampaknya hanya sekadar macan kertas belaka.
Lebih ironis lagi, mahkamah agung sebagai lembaga peradilan yang agung, tertinggi, yang diisi oleh hakim-hakim agung justru mengalami gejala anomali dengan atribut keagungannya. Mahkamah agung malah terkesan permisif terhadap praktik korupsi. Koran Tempo mencatat sepanjang tahun 2019-2020, mahkamah agung telah memangkas hukuman bagi 23 terpidana korupsi. Salah duanya adalah Anas Urbaningrum, dari 14 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara saja dan O.C. Kaligis, dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara. Kemudian pada tahun 2019, mahkamah agung juga membebaskan terpidana kasus korupsi BLBI, mantan Kepala BPPN, Syafrudin Tumenggung di level kasasi. Korupsi ini telah merugikan keuangan negara sebesar 4,58 triliun rupiah.
Terbaru, mahkamah agung menyunat vonis pidana penjara Fahmi Darmawansyah terkait kasus suap kepada Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husein di tingkat peninjauan kembali dari 3,5 tahun penjara menjadi 1,5 tahun penjara. Alasan pemotongan vonis itu sendiri sangat aneh dan bertentangan dengan nurani serta akal sehat.
“Sesuai fakta persidangan, pemohon peninjauan kembali (Fahmi Darmawansyah) menyetujui untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon melainkan karena sifat kedermawanan pemohon” demikian bunyi putusan mahkamah agung, dilansir melalui website mahkamah agung (7/12/2020). Mahkamah agung sebagai peradilan yang agung, tertinggi, dan diisi oleh hakim-hakim agung (hakim pilihan) seharusnya bisa menjadi justice guardians dengan putusan-putusannya yang tidak hanya mengandung kepastian hukum, tetapi juga memiliki basis filosofis dan sosiologis yang kuat.
Selama mahkamah agung masih “permisif” terhadap tindak pidana korupsi dengan indikasi rendahnya vonis yang dijatuhkan, maka penegakan hukum tindak pidana korupsi akan tumpul sehingga menyebabkan labirin praktik korupsi semakin subur di bumi pertiwi.
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.