Disparitas Pidana Sebagai Sarana Mewujudkan Keadilan Materil

Disparitas Pidana Sebagai Sarana Mewujudkan Keadilan Materil

detakbanten.com - Hukum pidana dapat dibedakan dalam arti yang luas maupun dalam arti yang sempit. Dalam arti luas, pengertian hukum pidana meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil atau hukum acara pidana, dan juga hukum penitensier (hukum pelaksaanaan pidana). Sedangkan dalam arti yang sempit, pengertian hukum pidana hanya mengacu kepada hukum pidana materil.

Hukum pidana materil merupakan bagian dari hukum yang ditetapkan oleh negara yang mengatur mengenai: perbuatan apa yang dilarang atau diperintahkan yang diancam dengan pidana, kapan dan dalam hal apa orang dapat dijatuhi pidana, dan dengan sarana apa pemidanaan dijatuhkan. Jika dikonkretisasi, hukum pidana materil akan berbicara dan membahas mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan (sanksi pidana). Pada artikel ini pengertian hukum pidana yang dimaksud tentunya adalah pengertian hukum pidana dalam arti yang sempit yakni hukum pidana materil.

Dalam dinamikanya, bekerjanya hukum pidana sangat dipengaruhi oleh beberapa aliran pemikiran hukum pidana. Secara teoritik terdapat tiga aliran pokok dalam hukum pidana yakni aliran klasik, aliran modern, dan aliran neoklasik. Ketiga aliran ini memiliki konsep pemikiran yang berbeda satu sama lain.

Pertama, aliran klasik. Menurut aliran klasik, titik sentral dari pada penegakan hukum pidana adalah pada perbuatan atau tindak pidana (daad strafrecht). Sehingga titik penekanannya adalah sepanjang orang melakukan perbuatan (delik) yang sesuai dengan rumusan aturan hukum pidana, maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan aturan hukum pidana. Secara implisit, aliran klasik memandang bahwa setiap perbuatan atau delik pidana yang sama harus dijatuhi pidana yang sama. Aliran klasik pada dasarnya dipengaruhi oleh paham indeterminisme yakni paham yang memandang manusia dan perbuatannya sebagai sebuah relasi yang otonom (tidak dipengaruhi oleh faktor diluar diri).

Kedua, aliran modern. Menurut aliran modern, titik sentral dari pada perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada subyek pelaku tindak pidana. Sehingga ketika terjadi suatu delik pidana, maka tidak selalu dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan aturan pidana yang menjadi dasar legitimasi penjatuhan pidana, namun akan dilihat terlebih dahulu kondisi obyektifitas yang melatarbelakangi pelaku melakukan tindak pidana tersebut. Aliran modern ini di sebut juga daader strafrecht, di mana titik penekanannya diletakkan pada subyek pelaku tindak pidana.

Aliran modern pada dasarnya dipengaruhi oleh paham determinisme yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya tidak bersifat otonom. Artinya, perbuatan seorang manusia tidak disebabkan oleh kehendak dari dalam dirinya namun dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar dirinya. Menurut aliran modern, orang yang melakukan delik pidana yang sama dapat dijatuhi sanksi yang berbeda. Konkretnya, penjatuhan sanksi pidana harus dilihat dari latar balakang maupun kondisi subyektif seseorang.

Ketiga, aliran neoklasik. Merupakan sintesis dari kedua aliran diatas. Menurut aliran neoklasik titik sentral perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada aspek perbuatan dan juga pelaku (orang) secara seimbang. Berangkat dari sini, maka suatu pemidanaan haruslah memperhatikan secara matang dan seimbang antara perbuatan yakni delik pidana dan juga kondisi subyektif dari pelaku saat melakukan delik pidana.

Disparitas Pidana dan Keadilan Materil
KUHP sebagai ratio legis dari hukum pidana positif di Indonesia pada prinsipnya mengandung ajaran hukum pidana klasik dimana menitikberatkan pada aspek perbuatan (delik pidana). Artinya, titik penekanannya adalah pada perbuatan bukan terhadap pelaku (faktor subyektif). Hal ini membuat tidak memungkinkan adanya treatments yang berbeda terhadap perbuatan delik pidana yang sama meskipun dilatarbelakangi oleh kondisi obyektif yang berbeda.

Meskipun demikian, nilai subyektif dalam penjatuhan pidana tetap memiliki kontekstualisasinya dalam kerangka tinggi rendahnya vonis. Konkretnya, terhadap perbuatan yang sama dengan latar belakang yang berbeda hendaknya dijadikan ratio decidendi dalam menentukan tinggi rendahnya vonis. Misalnya, si A melakukan pencurian ayam untuk digunakan sebagai pesta menyambut tahun baru dan si A sendiri sudah terbiasa melakukan pencurian. Di sisi lain, si B melakukan pencurian ayam untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih balita karena sudah 2 hari tidak makan. Si B akhirnya terpaksa mencuri ayam untuk memenuhi kebutuhan pokok anaknya.

Terhadap dua kasus di atas secara yuridis memang sama-sama melanggar Pasal 363 KUHP yang diancaman pidana penjara paling lama 7 tahun. Namun untuk penjatuhan vonis, seharusnya terhadap si A dan si B dijatuhi vonis yang berbeda. Si A ‘wajib” dijatuhi pidana yang lebih tinggi dari si B dengan melihat kondisi subyektif dari latar belakang keduanya melakukan pencurian.

Harus ada disparitas pidana antara si A dan si B. Bagi orang yang memiliki paradigma legisme, disparitas pidana terhadap delik pidana yang sama tentunya akan mereka anggap sebagai sebuah bentuk pengingkaran terhadap nilai kepastian hukum. Namun bagi orang yang memiliki paradigma progresif, disparitas pidana adalah hal penting sebagai sarana pengayoman terhadap nilai keadilan. Pertentangan antara nilai kepastian hukum dan nilai keadilan sendiri merupakan fenomena yang selalu menjadi diskursus “abadi” dalam konteks implementasi hukum pidana.

Arti penting dari pada disparitas pidana sendiri pada prinsipnya adalah guna mewujudkan keadilan materil. Perlu dipahami, vonis adalah sarana bagi hakim untuk mewujudkan keadilan hakiki atau keadilan materil terhadap sebuah penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu, dalam menjatuhkan vonis, seorang hakim harus memperhatikan aspek-aspek materil di samping aspek-aspek formil.

Mengingat KUHP positif saat ini masih beraliran klasik (daad strafrecht), maka hakim harus benar-benar jeli dalam mengoptimalkan ketentuan aturan pidana yang ada untuk memperoleh keadilan materil. Salah satunya adalah dengan memperhatikan kondisi-kondisi dan latar belakang seseorang dalam melakukan tindak pidana sebagai ratio decidendi dalam menentukan tinggi rendahnya vonis.

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Penulis buku Dialektika Hukum

 

 

Go to top