Korupsi dan Problematika Sistem Peradilan Pidana

Pradikta Andi Alvat S.H., M.H. Penulis Buku “Dialektika Hukum” Pradikta Andi Alvat S.H., M.H. Penulis Buku “Dialektika Hukum”

detakbanten.com - Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah mekanisme kerja dalam proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan untuk menanggulangi tindak pidana.

Menanggulangi tindak pidana dalam hal ini mengandung dimensi pencegahan baik prevensi general maupun prevensi khusus serta penghukuman (pembinaan) demi terwujudnya keamanan dan ketertiban, serta keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai sebuah mekanisme sistematik, maka agar tujuan dari pada sistem peradilan pidana dapat tercapai secara mangkus, tentu diperlukan suatu keselarasan peran yang maksimal dari masing-masing sub-sistem peradilan pidana.

Itu artinya, kepolisian sebagai pintu masuk dari sistem peradilan pidana harus mampu bekerja secara profesional, kemudian kejaksaan juga demikian harus mampu melaksanakan tugas dan perannya secara profesional, pengadilan harus mampu menjadi lembaga yang dapat mewujudkan keadilan substantif, dan terakhir lembaga pemasyarakatan harus mampu membina narapidana agar para narapidana dapat menyadari kesalahannya dan dapat kembali hidup secara normal dalam lingkungan masyarakat untuk mendukung pembangunan (selepas bebas).

Romly Atmasasmita dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisme (2006) menambahkan bahwa agar sistem peradilan pidana dapat menghasilkan kinerja yang optimal dan efektif maka diperlukan sinkronisasi dan keselarasan dalam 3 hal yaitu: sinkronisasi struktural (hubungan kelembagaan), sinkronisasi substansial (peraturan materil), dan sinkronisasi kultural (nilai dan budaya).

Berhasil tidaknya sistem peradilan pidana dalam menanggulangi tindak pidana akan sangat tergantung dari peran dan sinkronisasi dari masing-masing sub-sistem tersebut.

Hal inilah yang tidak nampak dalam sistem peradilan pidana kita khususnya ketika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang masih merajela dan masif dalam segala lini kehidupan negara disebabkan karena gagalnya sistem peradilan pidana kita dalam menanggulanginya.

Konkretnya tekait vonis hakim yang cenderung rendah dan “impotennya” lembaga pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan narapidana. Lapas mengalami impotensi fungsi diakibatkan oleh rendahnya integritas baik dari pejabat maupun petugas lapas.

Permasalahan Sistem Peradilan Pidana Terkait Perkara Korupsi menurut data ICW pada 2018 lalu, vonis yang dijatuhkan hakim terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi jika dirata-rata masih cukup rendah yakni 6 tahun 4 bulan penjara. Kemudian menurut data ICW pada 2017 lalu vonis hakim pengadilan negeri yang dijatuhkan terhadap para koruptor juga masih sangat rendah, jika dirata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara.

Fakta ini tentu memprihatinkan, terlepas bahwa vonis adalah wujud dari kemerdekaan dan kebebasan seorang hakim, namun jika vonis yang dijatuhkan relatif rendah tentu efek jera dari suatu vonis pidana tidak akan begitu terasa. Korupsi yang berlabel sebagai extra ordinary crime nampak hanya “sangar” pada diksi namun ompong dalam segi penegakannya.

Setelah permasalahan dalam konteks vonis pengadilan, permasalahan penegakan hukum korupsi dalam bingkai sistem peradilan pidana selanjutnya adalah terletak pada impotensi pembinaan di lembaga permasyarakatan. Secara filosofis-normatif atau das sollen lembaga permasyarakatan adalah tempat narapidana dirampas kemerdekaannya agar ia mendapatkan efek jera atas perbuatan yang dilakukannya sekaligus tempat narapidana itu dibina agar ia menyadari kesalahannya dan dapat berubah manusia yang lebih baik. Baik secara individu maupun secara kesadaran sosial.

Namun secara das sein khususnya dalam perkara yang terkait dengan narapidana korupsi, lembaga permasyarakatan seakan menjadi lembaga tanpa wibawa dan impoten karena sudah berulang kali integritas dan keperkasaannya runtuh oleh silaunya pengaruh dan materi dari para white collar crime tersebut.

Secara umum ada dua hal previllage yang biasanya didapatkan oleh narapidana korupsi ketika menjalani hukuman hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan. Pertama, akses mendapatkan fasilitas-fasilitas mewah didalam lapas sehingga membuat para napi korupsi tersebut seakan hidup di hotel bintang lima walaupun tinggal di lapas, kasus ini contohnya terjadi pada mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin pada 2013 lalu di lembaga permasyarakatan Sukamiskin.

Kedua, kemudahan untuk keluar dari Lapas secara ilegal (tanpa alasan yang sah dan patut) sebagaimana yang terjadi pada Gayus Tumbunan dan Setya Novanto yang tertangkap kamera sedang plesiran bersama istrinya di toko bangunan mewah kawasan Padalarang. Apa yang terjadi pada Setya Novanto tersebut diyakini hanyalah fenomena gunung es belaka, karena diluar itu, sangat potensial banyak para narapidana korupsi yang mendapatkan previllege seperti Novanto ketika menjalani hukuman di lapas.

Previllege-previllege yang didapatkan oleh para narapidana korupsi sebagaimana yang terjadi di atas menyebabkan fungsi penghukuman dan pembinaan oleh lapas mengalami disfungsi sehingga efek jera dan pembelajaran diri yang seharusnya menjadi tujuan dari permasyarakatan narapidana tidak memiliki implikasi apapun terhadap narapidana secara khusus maupun kepada masyarakat pada umumnya.

Hal ini secara langsung maupun tidak langsung turut berkontribusi membuat perbuatan korupsi menjalar masif mengeroposi sendi-sendi kehidupan negara lantaran hilangnya fungsi prevensi general dan pevensi khusus dari suatu penghukuman. Konklusinya, para pihak lainnya yang belum korupsi menjadi tidak takut untuk melakukan korupsi dan para mantan narapidana korupsi yang telah menjalani penghukuman dan pembinaan di lapas tidak memiliki sikap jera dan pembelajaran diri (resosialisasi).

Perlu diketahui bahwa korupsi adalah kejahatan kerah putih, dalam arti orang-orang yang melakukannya adalah orang-orang berpengaruh yang memiliki jaringan kekuasaan dan kemampuan materi yang dapat dimanfaatkannya untuk mendapatkan berbagai previllege dengan memanfaatkan rapuhnya ketegasan dan lemahnya integritas para pejabat dan petugas Lapas. Oleh karenanya perlu dicarikan solusi baku untuk mengatasi permasalahan ini.

Pertama, tentunya perlu political will dari pemerintah dalam hal ini Kemenkumham untuk membangun ekosistem bersih top to bottom dengan jalan memilih kepala lapas berdasarkan prinsip good governance dan sistem meritokrasi agar yang terpilih menjadi pemimpin lapas adalah sosok yang memiliki kapasitas, integritas dan rekam jejak bersih. Kemudian Kemenkumham melalui Menteri maupun Ditjen PAS juga harus rutin melakukan pengawasan terhadap lapas khususnya bagi lapas yang memiliki rekam jejak buruk dalam integritas membina narapidana korupsi.

Kedua, perlunya sikap dan keberanian dari Kemenkumham untuk menempatkan narapidana korupsi ke lapas Nusakambangan secara proporsionalitas setidaknya untuk saat ini. Di lapas Nusakambangan, narapidana korupsi bisa ditempatkan di sel penjara yang memiliki kualifikasi maximum security.

Ketiga, negara perlu sekiranya mempertimbangkan untuk membentuk sebuah lapas khusus narapidana korupsi berkualifikasi maximum security dengan kuantitas yang besar di daerah yang jauh dengan aksesbilitas publik misalnya di pedalaman Kalimantan atau Papua.

Akhir sekali, pada prinsipnya, berhasil tidaknya pemberantasan tindak pidana korupsi tergantung dari bagaimana efektifitas dan kolektifitas kinerja sistem peradilan pidana dalam menanggulangi korupsi.

Melihat kenyataan di atas, maka, sebagus dan seprofesionalismenya apapun kinerja dari KPK/Polri/Kejaksaan dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi, selama vonis hakim yang dijatuhkan terhadap para koruptor relatif rendah dan fungsi pembinaan di lapas impoten karena lacurnya integritas, maka selama itu pula sistem peradilan pidana terkait perkara korupsi tidak akan pernah bisa berjalan efektif dan cenderung tumpul dalam menanggulangi korupsi.

Sehingga membuat korupsi akan senantiasa tumbuh subur di negeri yang katanya memiliki nenek moyang jujur dan beradab ini.

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Penulis Buku “Dialektika Hukum”

 

 

Go to top