Realitas Politik Kekrabatan dan Prospek Pilkot Tangsel

Realitas Politik Kekrabatan dan Prospek Pilkot Tangsel

detakbanten.com - Bila istilah kekerabatan politik itu berarti cara-cara berpolitik berdasarkan hubungan emosional, pertemanan dan keakraban di antara sesama elite politik, maka hampir semua konstestan politik yang diusung oleh partai politik di banyak event pemilihan kepala daerah di tanah air saat ini adalah pelaku politik kekerabatan.

Mereka bermain dan bertarung politik lebih mengandalkan pada kekuatan relasi dan dukungan emosional para tokoh dan figur tertentu yang dilembagakan dalam bentuk partai politik. Partai politik menjadi kekuatan dan cara baru dalam mewujudkan keinginan dan ambisi para elite berdasarkan motif meraih kekuasaan jangka pendek dan motif mengumpulkan pundi -pundi kapital- finansial. Tipis sekali kecenderungannya untuk memperjuangkan misi politik berdasarkan pertimbangan motif kualitas gagagan besar atau mengusung nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan baik oleh partai pendukung maupun oleh para calon kepala daerah.

Yang menarik justru bila kekerabatan politik itu diartikan lebih sempit, yakni sebatas hubungan keluarga (dinasti) dan kroninya. Kenapa menarik, karena isu dinasti politik mulai marak ketika banyak media dan pengamat di tanah air menyoroti praktek politik dinasti di Provinsi Banten.

Politik dinasti Banten menjadi role-model atau contoh kasus dinasti politik lokal yang paling banyak disebut dalam banyak studi dan kajian ilmu politik modern di tanah air. Bahkan para elite politik dari daerah di luar Provins Banten, melihat apa yang terjadi dengan politik dinasti di provinsi paling muda tersebut sebagai inspirasi dan motivasi untuk melakukan praktek poitik dinasti yang sama di daerahnya.

Meskipun sampai hari ini belum ada satu daerah pun di Indonesia yang memiliki model politik dinasti sehebat, serapih, dan sesukses di Provinsi Banten. Praktek dinasti politik di Provinsi Banten hingga saat ini masih bertahan dan cukup efektif dalam mempengaruhi dan mengendalikan kekuasaan.

Prilaku dinasti politik Banten belakangan bukan hanya merujuk kepada keluarga besar Atut Chosiah, mantan Gubernur, melainkan juga merujuk kepada kelompok lain di Banten. Yakni kelompok dinasti Wahidin Halim di Kota Tangerang, dinasti Jayabaya di Kab Lebak, dinasti Dimyati di Pandeglang dan dinasti Ismet Iskandar di Kabupaten Tangerang. Kelompok keluarga ini telah mengikuti jejak keluarga besar Chasan Shohib dalam memperluas praktek politik dinasti di wilayah kekuasaannya meskipun belum sesukses keluarga ibu Atut.

Hari ini dalam event pilkada secara nasional maupun lokal, trend politik dinast kian berkembang lebih eskaltif dan masif. Bukan hanya dilakukan oleh para elite politik Banten saja, melainkan juga hampir sebagian elite partai politik di Jakarta sedang men-share, men-dilrvery praktek-praktek politik dinasti menyebar ke banyak daerah. Presiden Jokowi misalnya bermain di Solo dan Medan. Begitu juga Mensesneg Pramono Anung, dll.

Demikian juga dengan para kontestan di Pilkot Tangsel saat ini, semuanya sedang memainkan politik dinasti. Bu Azizah adalah putra Maruf Amin yang merupakan wakil presiden. Saras, calon wakil walikota, adalah keponakan Prabowo. Sementara Pilar, calon Wakil Walikota, adalah putra dari Ibu Tatu Bupati Kab Serang yang merupakan adik kandung Ibu Atut.

Terus apa yang salah dan jadi masalah? Tidak ada masalah secara undang-undang politik pemilu. Aturan pemilu membolehkan politik dinasti bermain. Sah secara hukum. Bahkan tidak menyalahi prosedural demokrasi politik yang berlaku.

Tetapi akan menjadi masalah jika diajukan dua pertanyaan penting.

1. Apakah politik dinasti di era kini bisa menjadi modal yang efektif bagi kontestan untuk memenangkan sebuah pertarungan politik?

2. Apakah praktek politik dinasti dapat menjamin pelaksanaan pilkot nantinya benar- benar berjalan sesuai prinsif kualitas demokrasi dimana pertarungan yang terjadi adalah adu kekuatan ide dan konsep tentang membangun kota Tangsel ke depan?

Jika para kontestan terlalu mengandalkan unsur kekerabatan an sich untuk memenangkan pertarungan politik, maka ini yang akan menjadi masalah.

Praktek politik yang terlalu bergantung kepada unsur kekerabatan biasanya memiliki dua karakter yang bertentangan dengan tujuan luhur sebuah perhelatan demokrasi politik. Yakni , ia mempunyai karakter yang cenderung mengesampingkan gagasan dan ide -ide besar. Malah seringkali miskin gagasan dan males berinovasi pemikiran. Karakter kedua ialah cenderung menyukai cara- cara politik kuno, yakni menggunakan praktek politik uang (money politic).

Nah, sementara tingkat partisipasi politik warga Tangsel sudah berkembang sedemikian hebat. Bukan saja dari sisi keterlibatan warga untuk ikut datang ke TPS, tetapi juga sudah mampu berekspresi politik secara kualitatif dibandingkan sepuluh tahun lalu. Saat ini tumbuh sangat pesat komunitas -komunitas anak anak muda dari berbagai profesi yang intens menyelenggarakan diskusi dan kajian soal ke-Tangsel-an.

Group group WA yang kemudian berkembang menjadi institusi kajian dan diskusi menyikapi berbagai hal yang terjadi dan berkembang di Tangsel yang aktivitasya lebih variatif bahkan jauh lebih kreatif dibandingkan organisasi organisasi formal yang sudah ada.

Fenomena tersebut meskipun tidak secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan partisipasi politik secara kuantitatif, setidaknya telah mendorong tumbuhnya kelas menengah baru perkotaan yang yang lebih berkualitas. Lebih melek melihat realitas, lebih berani menyampaikan gagasan dan tentu saja lebih kritis dengan cara dan gaya khasnya. Kelompok ini mempunyai pengaruh dan basis masa yang tak mudah begitu saja bisa terbeli oleh kekuatan money politic. Berpolitik buat mereka adalah momentum memperjuangkan gagasan.

Maka, kita berharap, meskipun para petarung yang tampil di Pilkot Tangsel hari ini semuanya adalah jebolan dari "sekolah" politik kekerabatan, namun mereka bisa tampil di lapangan lebih berbeda. Lebih smart dan berkualitas.

Tangsel saat ini berbeda dengan Tangsel 10-15 tahun lalu dimana saat itu politik dinasti bisa seenaknya memanen keuntungan. Sekarang kemungkinan ke arah itu relatif kecil. Tangsel sudah jauh berubah.Jauh lebih rasional dan kritis.

Warga Tangsel kini lebih bisa membuka mata hati dan pikiran bahwa Pilkot ini bukan sekedar memilih dinasti yang mana atau figur siapa, melainkan lebih dari itu, yakni soal memilih masa depan warga kota sendiri. Dan masa depan itu ada pada kapasitas, integritas, dan gagasan serta pemikiran hebat yang ditawarkan oleh masing- masing kontestan untuk masa depan warga Tangsel.

Penulis: Uten S

 

 

Go to top