Print this page

Kearifan Lokal Benteng Terakhir

Kearifan Lokal Benteng Terakhir

detaktangsel.com- EDITORIAL, Eksistensi masyarakat adat mengalami proses marjinalisasi akibat modernisasi dan kapitalisasi yang dimotori kekuatan negara dan pasar. Sementara negara dan kekuatan modal bertindak sebagai komparator. Akibatnya memisahkan keterpaduan antara komunitas adat dan alam lingkungan yang melahirkan bentuk-bentuk tradisi sekaligus sistem kepercayaan serta sesuatu yang menjadi mata pencahariannya.

Antara hutan dan komunitas adat misalnya, adalah kesatuan yang melahirkan energi saling tumbuh dan memberikan ruang akan hak hidup. Penebangan hutan selalu disertai di penanaman kembali (reboisasi). Penebangan hutan bukan pula berorientasi pada nafsu ketamakan untuk mencapai kekayaan.

Sikap ini memunculkan kearifan lokal untuk selalu menjaga harmoni dengan alam.
Negara sebagai kekuatan pusat-nasional mencengkeram dan menguras sampai memunculkan kerusakan ekologis yang berakibat pula pada keterasingan komunitas-komunitas adat dan lingkungan budayanya sendiri.

Masyarakat adat kehilangan akses dan kontrol terhadap dinamika alam lingkungannya. Kondisi ini sudah menjadi fakta sosiologis-antropologis bahwa ada kemajemukan atau keragamaan kepulauan sebagai fondasi dari kebangsaan Indonesia dalam menyimpan pluralisme etnik, suku, agama, bahasa, tradisi, dan adat istiadat.

Tidak heran bila dalam ke-Indonesia-an ini tumbuh komunitas-komunitas adat pula. Ada kemajemukan ini sebenarnya menjadi kekayaan kultural yang begitu tinggi nilainya sekaligus menyimpan berbagai aneka macam keindahan dan tebaran pesona.

Begitu pula keragamaan sistem sosial di masyarakat memunculkan mekanisme dan pola kepemimpinan yang satu sama lain memiliki keunikan atau kekhasan. Agama dan identitas etnik terkadang berpengaruh pula dalam jalinan pola kemasyarakatan dengan semangat toleransi dan pluralisme yang begitu tinggi.

Kesadaran pluralisme dan toleransi di kalangan masyarakat adat benar-benar dirusak oleh penguasa-negara. Sehingga dalam kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi dari adanya ketegangan dan kekerasan yang menimpa atasnya.

Situasi ini seringkali memunculkan kesadaran kritis di kalangan mereka melalui berbagai macam protes sebagai bentuk resistensi yang tidak jarang diwarnai pula dengan tindakan kekerasan, baik terhadap aparatus dan simbol-simbol negara, ataupun kelompok sosial di luar komunitas adat yang dianggap sebagai etnik yang merepresentasi sosok kekuasaan.

Ketika Orde Baru mengalami kehancuran, ledakan keras berupa benturan, konflik, dan kekerasan baik yang bersifat vertikal maupun horisontal mewarnai dinamika masyarakat adat.

Momentum pelaksanaan otonomi daerah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menghadirkan kembali tradisi-adat yang puluhan tahun (hampir/sudah) punah. Bahkan, seringkali tanpa disertai dengan upaya kontektualitas akan kandungan substansi dengan adanya perubahan zaman.

Tidak jarang pula wacana otonomi daerah menghadirkan semangat otoritarianisme etnik atau agama terhadap kelompok warga yang minoritas dari segi kuantitas.

Kebudayaan ibarat sebuah tenda yang menaungi berbagai aspek kehidupan manusia. Semakin tinggi dan luas tenda, semakin sehat aspek-aspek kehidupan yang berada di bawahnya. Karena terbuka ruang lapang untuk mudah bergerak.

Sebaliknya semakin sempit dan rendah tenda yang menaungi membuat berbagai aspek yang dalam naungannya semakin sempit, pengap, dan tidak ada ruang gerak. Hal ini berlaku untuk semua aspek kebudayaan. Seperti sistem kepercayaan dan religiusitas, kesenian, bahasa, organisasi sosial politik, sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi, matapencaharian, dan pendidikan.

Pengaruh budaya global terhadap budaya lokal berarti pula suatu serangan terhadap identitas suatu bangsa. Inti dari kehidupan berbangsa adalah budaya.

Apabila budaya bangsa diusik, maka terusiklah pula identitas bangsa itu. Gelombang globalisasi dapat melunturkan rasa kebangsaan atau identitas bangsa. Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha agar supaya budaya dan identitas bangsa akan tetap hidup dan berkembang di dalam budaya global.

Titik tolak dari kedua hasil usaha ini tidak lain daripada SDM yang dikembangkan berdasarkan budaya bangsa itu sendiri. Tidak ada orang lain yang akan mempertahankan kebudayaannya sendiri selain dari pendukung kebudayaannnya itu sendiri, yaitu manusia dan bangsa yang memilikinya.