Print this page

Aparat Keamanan Lunak Hadapi Aksi Tawuran

Aparat Keamanan Lunak Hadapi Aksi Tawuran

detaktangsel.com- EDITORIAL, Sebanyak 179 siswa terlibat aksi tawuran di Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (12/3). Mereka adalah pelajar SMK Setia Budi (Rangkas Bitung) dan SMK Sasmita (Pamulang). Konon, aksi ini terjadi lantaran alumni masing-masing sekolah memrovokasi pelaku tawuran.


Peristiwa serupa acapkali terjadi. Namun, tindakan tegas dari aparat keamanan maupun sekolah terasa masih lemah. Sikap yang sedemikian rupa membuat kalangan siswa makin nekat menunjukkan ekspresi kejiwaan melalui aksi kekerasan.


Fakta lapangan pun menunjukkan bahwa kalangan siswa kedua sekolah dengan bebas membawa senjata tajam. Lalu, kenapa pihak keamanan menolelir. Padahal ada pasal yang bisa menjerat siswa secara hukum karena terbukti membawa senjata tajam (sajam).


Apakah tindakan aparat keamanan jelas tidak masuk diakal dan tebang pilih. Seharusnya aparat keamanan tidak memandang pelaku tawuran adalah siswa, melainkan warga negara Indonesia yang terbukti melanggar hukum. Selain mengganggu kepentingan umum, juga bawa sajam dan terlibat aksi brutal.


Sungguh sangat ironis dan naif, aparat kepolisian hanya memberi hukuman push up terhadap pelaku tawuran tersebut. Di samping hukum push up, biasanya aparat kepolisian hanya menggunduli rambut siswa dan terkadang disuruh membersihkan kamar mandi atau WC.


Seharusnya kalangan pelajar yang terbukti melakukan pelanggaran ketertiban umum beserta memiliki sajam diganjar sesuai hukum yang berlaku. Tidak dilepas dan diserahkan kepada orantua maupun pihak sekolah masing-masing.


Masih relevankah kalangan pelajar yang terbukti suka tawuran hanya diberi pengarahan? Aparat kepolisian dan pihak sekolah perlu mengkaji ulang cara pandang untuk menangani pelajar yang terbukti terlibat tawuran.


Begitu pun para orangtua, tidak perlu menunjukkan kasih sayang berlebihan ketika kedapatan anaknya ikut tawuran. Apakah sekadar ikut-ikutan, apalagi sebagai komando tawuran. Hukum is hukum.


Terasa bosan dan memuakkan cara penanganan aparat kepolisian terhadap pelaku tawuran di kalangan pelajar terkesan kompromisitis. Tidak pernah terdengar siswa, pelaku tawuran, dimejahijaukan.


Karena cara pandang aparat keamanan, guru, dan orangtua sedemikian rupa kompromistis, kalangan pelajar pun tidak pernah jerah untuk menggelar aksi tawuran. Apalagi kalangan alumni turun tangan, mereka makin unjuk gigi.


Aneh, ada apa sebenarnya aparat kepolisian maupun guru kok melepem dan memble untuk menjatuhkan sanksi hukuman? Kiranya, baik aparat kepolisian maupun guru mereformasi paradigma pemikirannya untuk menangani pelajar-pelajar ini.


Agar tidak terkesan tebang pilih, aparat kepolisian wajib menjatuhkan sanksi hukuman meski pelaku adalah berstatus pelajar. Karena hukum tidak mengenal status kecuali perkara.


Nah, di sinilah ruang aparat kepolisian bertindak. Bertindak untuk menjatuhkan sanksi yang pantas dan sesuai peraturan hukum yang berlaku. kalau tidak, kehadiran aparat keamanan hanya dipandang sebelah mata oleh kalangan pelajar.


Dalam konteks ini bukan bermaksud untuk memojokkan aparat kepolisian atau guru. Justru sebaliknya mengingatkan agar ada ketegasan untuk mendongkrak citra masing-masing pihak. Ya aparat kepolisian, ya kalangan guru.


Perkara ini tidak hanya terjadi di wilayah Ciputat. Di daerah mana pun, penanganan aparat kepolisian dan guru nyaris sama dalam menangani pelajar yang terbukti terlibat tawuran dan memiliki sajam.


Sikap pembiaran ini bila dibiarkan akan menjadi pembenaran. Oh ya, benar polisi tidak menghukum mereka karena statusnya masih pelajar, di bawah umur lagi. Oh ya, benar guru harus membela siswanya. Kata benar akhirnya akan mnjadi pembenaran secara umum.


Ibarat bermain biliar. Ketika ingin memasukkan bola nomor 1, malah masuk bola nomor 15. Langkah itu dianggap benar. Sedangkan ketika hendak memukul bola nomor 4 justru menyenggol dulu bola nomor 8, maka dinilai satu kesalahan fatal.


Dalam kehidupan memang sering kali terjadi pembenaran terhadap suatu kesalahan meski terbukti melanggar hukum. Janganlah sampai aparat kepolisian dan guru mengapresiasi kasus tawuran pelajar di-justifikasi sebagai kenakalan anak remaja. Karena hukum tidak mengenal status kecuali perkara. (red)