Print this page

Menimbang Pesan Politik Caleg: PERUBAHAN

Menimbang Pesan Politik Caleg: PERUBAHAN

detaktangsel.com- Sepanjang perjalanan ke arah Gedung MPR/DPR RI, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, tidak terhitung jumlah spanduk dan poster calon legislatif (caleg) terpasang tidak beraturan. Isi pesan politik pun variatif. Hanya satu pesan politik nyaris sama, serupa, dan senapas mengusung isunya : PERUBAHAN!

Tuntutan perubahan telah menjadi sentral dan bergulir sepanjang masa di Tanah Air terutama menjelang penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) lokal,  pemilu legislatif, dan pemilu presiden. Semula isu ini menjadi menu utama kaum pergerakan dan perlawanan. Lambat laun, telah diklaim sebagai kebutuhan rakyat semesta.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berubah setelah meledak revolusi budaya. Polandia berubah menyusul tokoh perlawanan Lech Walesa  menggerakkan kekuatan kaum buruh melawan rezim berkuasa. Dan, tembok pembatas antara Jerman Barat dan Jerman Timur dirobohkan. Ini adalah contoh fakta sejarah adanya perubahan.
Lalu, Indonesia juga mengalami hal serupa tapi tidak sama ketika rezim Soekarno dan Soeharto ditumpas gerakan perubahan.   Alhasil, adakah perubahan yang signifikan dan konkret dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Gerakan reformasi misalnya. Tuntutan yang diusung satu di antaranya adalah perubahan. Seolah perubahan menjadi kebutuhan nasional yang tidak bisa ditawar lagi. Terjungkallah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Lantas, sejumlah tokoh yang mengaku reformis menduduki jabatan penting di negeri ini. Kembali pertanyaannya, rakyat Indonesia merasakan angin perubahan dari gerakan refomarsi.
Nonsens! Jawaban ini meluncur mulus dari bibir sebagian besar rakyat. Sebaliknya nilai rupiah makin merosot dan tidak ada harganya sama sekali. Sementara rakyat makin menjerit lantaran tercekik krisis ekonomi.
Kini isu perubahan dihembuskan kembali mayoritas caleg melalui pesan politik yang tertera di spanduk dan poster. Maksudnya mungkin mengekspolitir calon pemilih secara psikologis. Sedangkan kebanyakan calon pemilih munafik dan plin plan dalam bersikap. Padahal banyak caleg tidak memaknai hakikat perubahan.
Pandangan dan pola pikir caleg sebagai tergambarkan lewat spanduk maupun poster terkesan membeo, latah, dan ikut-ikutan. Bukan mengerdilkan kapabilitas dan akuntabilitas caleg. Namun  kenyataannya terkesan bahwa caleg takut dicap ‘antireformasi’, berlomba-lomba menempelkan simbol perubahan.
Rakyat selalu menempati posisi dilematis. Tidak memilih caleg ‘perubahan’, kehilangan rejeki uang recehan. Memilih sama halnya membohong hati nurani. Apalagi sampai golput alias tidak menggunakan hak politiknya, dicap negatif.
Seharusnya kalangan caleg berani menanggalkan dan menghancurkan isu perubahan. Karena kebanyakan kata-kata perubahan hanya sekadar retorika dan slogan politik. Ujung-ujungnya rakyat juga menjadi korban isu perubahan.
Bila terjadi perubahan paling sebatas bagi-bagi kue kekuasaan yang dinikmati elit politik. Sedangkan rakyat tetap menjadi penonton sekaligus korban kebijakan politik yang menyesatkan.
Pengalaman telah menjadi  pelajaran sangat berharga. Gerakan perubahan dari rezim Soekarno ke rezim Soeharto memberanggus aktor-aktor demokrasi tidak mampu berekspresi. Perubahan yang diusung kaum reformis hanya sekadar bagi-bagi kue kekuasaan.
Banyak elit politik (baca: anggota DPR) raih gelar koruptor. Juga banyak elit birokrasi sebagai tersangka dan terdakwa kasus serupa. Apa  beda  rezim Soeharto dan rezim Reformasi dalam mengelola kekayaan negara, menyejaterahkan rakyat, dan membangun pertahanan ekonomi kerakyatan.
Justeru rezim Reformasi di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ‘melahirkan’ petaka nasional menyusul proses degradasi moral yang menjahit hati kaum elit politik, termasuk orang-orang di seputar lingkaran kekuasaan.
Para calon pemilih perlu wishdom mengapresiasi pesan politik caleg yang mengusung isu perubahan.  Karena substansi perubahan yang diusung caleg hanya sebatas kulit, tidak menyentuh kepentingan rakyat semesta.  Anggaplah celotehan caleg sebagai nada sumbang yang mendayu-dayu. Sudah saatnya, para pemilih bersikap kritis untuk menentukan calon-calon partai duduk di kursi dewan. Jangan biarkan mereka kembali menganiayai  hati kita. (red)