Print this page

Perselingkuhan Politik (Bagian II)

Perselingkuhan Politik (Bagian II)

detak.co.id- SEKETIKA, Perilaku Anton membuka mata dan pikiranku. Semula aku anggap sekadar isu murahan, ternyata praktik politik kotor terbukti. Money politics atau politik uang benar-benar mewarnai proses demokratisasi di Tanah Air.

Tentu ratusan atau ribuan atau semua celeg melakukan praktik serupa dengan Anton. Tidak tertutup kemungkinan virus ini udah mendarah daging dalam proses demokratisasi setiap menjelang pemilu.

Kondisi obyektif tentu menggugurkan teori dan konsep demokrasi. Tidak ada gunanya Orde Reformasi yang digawangi Amien Rais dan kawan-kawan. Bisa jadi, Amien Rais dan kawan-kawan hanya badut-badut politik. Tukang ngocok dan ngelawak bak dagelan politik.

Bisa juga jadi, kalangan politisi suka mengeksplotir rakyat. Mungkin diiming-imingi perubahan, berantas korupsi, dan penegakan supremasi hukum.

"Ya, ampun Gusti Allah. Kenapa anak-anak bangsaku bermental busuk."

Di tengah pikiran melayang ke langit ketujuh, teguran Yanti membuatku kaget.

"Elu mikirin apa sih, Man. Kok bengong!"

"Bayangi elu, yang. Eeh maaf, bayangi Anton kok cepat kaya dan enggak jujur dalam berpolitik."

"Bayangi gue enggak apa-apa kok Man. He he he..."

"Enggak jujur gimana."

"Praktik politik uang tadi. Itu enggak jujur."

"Aah dah tradisi. Kalo enggak begitu, gimana dapat dukungan."

"Ya, ya, ya.....! Udah enggak usah dibahas sepakterjang Anton. Itu urusan dia."

Aku pamitan pulang tepat pukul 21.30. Aku starter motor Honda Legenda dan melaju sampai perempatan Gaplek. Saat tiba di tingkungan jalan baru, Rawa Lindung, aku berpapasan dengan Atmodilogo.

Sahabatku ini dikenal antikemapanan. Ia sering berurusan dengan aparat kepolisian lantaran masalah demo di kampus. Terkadang tulisan artikelnya dimuat di kolom opini Koran Oblak membuat pejabat birokrasi pemerintah setempat kebakaran jenggot.

"Asalamulaikum, Dil."

"Walaikum salam, Man."

"Darimana aja, elu enggak pernah ngumpul di kampus. Teman-teman lagi sibuk nyiapin konsep orasi. Mereka mau demo di kampus. Mereka protes dan menolak politisasi kampus yang dilakukan salah satu kekuatan sosial politik."

"Seru donk. Bisa-bisa berhadapan dengan kita. Elu ikutan demo, Dil."

"Iya. Gue yang pelopori. Tahu sendiri elu ame sikap dan garis politik gue."

"Oke deh, gue gabung. Gue juga ingin ngobrol ame elu soal perilaku politisi dan praktik politik uang."

"Siiplah!"

Atmodilogo sangat akrab dengan kalangan kelompok kritis dari kampus mana pun. Tak pernah absen demo atau melayangkan protes bila ditemukan kejanggalan di kampus.

Beberapa kali, mungkin enggak bisa dihitung dengan jari tangan Atmodilogo dipanggil pembantu rektor bidang kemahasiswaan. Kendati demikian, Atmodiologo termasuk mahasiswa berprestasi. Ia juarai tanding tenis antarperguruan tinggi se-pesisir Timur dan Utara, juga pernah menaklukkan puncak Gunung Jaya Wijaya.

Pada Agustus lalu, Atmodilogo ajak aku hadiri pertemuan kalangan aktivis se-jabotabek plus Tangsel. Beda jika dibandingkan Anton, apalagi Ghozali, Eko, dan Caplin. Atmodilogo kekeh, ulet, konsisten, dan pendapatnya selalu miring.

Hampir tak mengenal istilah kompromi, bahkan main mata. Dalam pertemuan di kampus misalnya, ia tetap kekeh tidak menyoblos pada Pemilu 2014. Alasannya sepele.

"Buat apa nyoblos dan pilih politisi maupun partai politik busuk!"

"Saya tidak rugi kok enggak nyoblos,"

"Inkonstitusional donk, Dil," ujar Ucok.

"Jangan coba-coba merayu dan mengiming-imingku dengan sesuatu. Itu enggak berlaku bagiku. Thanks."

Setiap diajak tukar pikiran menyoal penggunaan hak pilitik pada pemilu, sahabatku yang satu ini pasti menyingkir. Ia berlalu tanpa banyak komentar.

Entah kenapa sahabatku ini tidak mau ubah sikap politiknya.

Atmodilogo pernah ditawari segempok uang ratusan juta rupiah. Namun, ia menolak karena dianggap uang haram.

"Bang tolong terima pemberian saya ini. Saya minta Abang bisa membujuk Widya agar tidak menentang kebijakan pembangunan mall di jalur hijau."

Upaya utusan gubernur itu gigit jari alias gagal total.

"Sekali lagi, saya tidak mau uang haram itu. Saya bersama teman-teman di Walhi tetap menuntut bos kamu, Pak Gubernur agar memperhatikan ruang hijau."

"Bawa pulang uang haram itu!"

Atmodilogo tak pernah mau disuap. Makanya, ia acapkali menjauhi dan tidak punya minat berkenalan dengan caleg dari partai politik mana pun. Baginya caleg ibarat tikus got.

Sukanya merongrong dan mencuri makanan di dapur. Dan, sulit diberantas karena liang perlindunganya atau bunker di bawah tahah berliku-liku. Masuk lubang sini, keluar lubang lain.