Print this page

Mementingkan Diri Sendiri (Bagian I)

Mementingkan Diri Sendiri (Bagian I)

detak.co.id - SEKETIKA, TAMPAK tanda gambar, baliho, dan spanduk partai politik dan calon anggota legislatif terpasang di sepanjang jalan memasuki kawasan rumah Ghozali. Enggak tertata rapi, sehingga perkampungan kumuh itu menjadi makin kumuh.


Aku tertarik artikel opini di suratkabar lokal Cirendue Pos. Judulnya cukup menarik holopis kuntul baris. Penulisnya, Widyaningsih.


Tulisan opini itu mempertanyakan apakah aturan-aturan moralitas bagi elit politik berbeda dengan yang berlaku bagi individu? Adakah standar ganda etika dan moralitas politik khusus yang memberi elit politik kebebasan yang lebih besar?


Widya menyitir pandangan Hobbes bahwa manusia secara alamiah dan pada dasarnya selfish. Artinya, manusia cenderung mementingkan diri sendiri, suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan jahat. Karena mementingkan diri sendiri, elit politik cenderung mengabaikan aturan moral dan etika.


Aku berusaha mengartikan slogan holopis kuntul baris, yang diungkap Bung Karno. Memaknai dan mengartikukasikan pikiran Bung Karno bagiku tidak semudah membalikkan telapak tangan.


"Kamu mengerti Zal apa substansi slogan itu."


"Kalau tidak salah lho, sekadar menyemangati bangsa ini agar bergotong royong.

Bekerja sama menangani hal besar, sehingga masalah apapun pasti terselesaikan, Man."


Pastinya, slogan politik holopis kuntul baris tidak dikenal dan tidak diaktualisasikan oleh individual, kelompok, dan partai yang menamakan dirinya sebagai Sukarnoisme. Bahasa simbol pun tidak tersirat, apalagi tersurat.


"Mungkin pesan politik atau simbol penyebar semangat Bung Karno semacam itu, sudah basi kali, Zal. Pada akhirnya terkadang anaknya sendiri, memimpin partai lagi, tidak bisa menjaga, mengawal, serta mengamalkan ajaran Bung Karno secara utuh yang disesuaikan dengan zaman."


"Bisa jadi, Man. Banyak orang mengaku penggagum dan pengikut Bung Karno, tapi Cuma dibibir saja."


Lalu, Ghozali berpikir kalangan elit cenderung mengaplikasikan politik burung unta.


"Pantas sikap dan perilaku politisi suka anggap tidak ada masalah. Padahal masalahnya bergudang-gudang. Itulah penguasa atau politisi burung unta."


Ghozali ngoceh ngalor ngidul soal politik burung unta. Sikap politik yang tidak mau ambil kesulitan.


"Mungkin maksudnya politik cari aman, Zal."


Ghozali antipolitik burung unta. Sebab, artikulasi politik unta tidak disukainya.


"Tahu enggak elu, Man. Burung unta jika menghadapi bahaya, misalnya dikejar oleh hewan predator atau pemburu, burung unta lari kencang memanfaatkan kakinya yang panjang dan kokoh. Lalu, bersembunyi dengan menyurukkan kepalanya ke dalam pasir atau ke dalam semak-semak."


"Ooh, munafik dan pengecut donk, Zal."


"Benar Man. Burung unta berpikir berada di posisi aman ketika menyembunyikan kepalanya di persembunyiannya. Dia lupa, badan besarnya mudah terlihat oleh predator atau pemburu yang mengejarnya."


Pembedahan pemikiran Ghozali masuk akal. Aku bahas pandangan Ghozali dengan Derio, mahasiswa semester V jurusan politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayat Jakarta.


"Ghozali antipolitik burung unta sangat benar. Meski burung unta punya solidaritas dan semangat gotong royong tinggi. Namu, sangat tidak berarti karena cenderung bersifat munafik dan pengecut, Bang Arman."


"Abang tahu sendiri, banyak kalangan elit politik ditangkapi karena terlibat pratik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Semula mereka merasa aman bersembunyi, eeh enggak tahunya terbongkar juga kasusnya besar sekali."


"Iya, ya Der. Abang paham."


Putra bungsu seorang wartawan ini menambahkan mencari dan menghimpun dana untuk memenangkan semua pertarungan politik adalah titik penting. Namun, sumber dan caranya kudu bener, bukan nyolong aset negara. Jangan selewengkan dan korupsi kebijakan anggaran negara.


Wujudkan mimpi bangsa yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Cita-cita negara dan gagasan partai sejahterakan rakyat dapat diwujudkan dengan memaksimalkan peran eksekutif dan legislatif, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.


"Sebagai sebuah negara demokrasi, kedua peran itu dapat dipegang partai melalui kemenangan dalam pemilu. Hanya kebanyakan elit politik tunjukkan perilaku menyimpang dari aturan moral dan etika. Pada akhirnya bertingkah laku amoral, Bang."


Bang Arman, seharusnya elit politik menjadikan pemilu sebagai momentum untuk menempatkan ide, gagasan dan cita-citanya. Hal itu sebagai sumber inspirasi dan motivasi menjadikan negara ini yang berdaulat dan sejahtera.


Adakah kesejahteraan bangsa ini di masa depan ketika perilaku elit politik tidak mencerminkan kepedulian pada kepentingan bangsa. Juga semua berjuang di politik adalah untuk rakyat, untuk wong cilik, bukan untuk kepentingan pribadi, dan bukan untuk kepentingan kelompok, melainkan untuk rakyat dan hanya rakyat.


Percayalaha, Bang. Sesungguhnya mengamati, apalagi membedah satu persatu kiprah partai politik peserta Pemilu 2014 tidak mampu mengikis kegalauan batin rakyat. Dominasi partai politik lama masih mempunyai kekuatan sangat signifikan dalam konstelasi politik nasional. Juga rata-rata mempunyai dosa politik, termasuk partai politik pendatang baru yang ikut berlomba merebut kekuasaan.


Kegalauan rakyat tentu sangat terkait erat dengan kemungkinan munculnya calon presiden (capres) mendatang. Muka-muka lama - itu pun kalau masih mempunyai muka - akan tampil mencalonkan diri sebagai capres. Di antaranya Megawati, Prabowo Subiakto, Wiranto, Aburizal Bakrie atau Rhoma Irama jelas hanya pelengkap penderita dalam peta politik nasional bila kekeh menjadi capres. Karena rakyat sudah tidak tertarik lagi terhadap calon-calon presiden muka lama itu.


Sementara capres alternatif pun belum bermunculan pada saat mendekat pemilu. Begitu pun capres wajah baru dari kalangan usia muda.


"Sangat disayangkan ada anak muda pantas didukung dari capres, tapi terindikasi terlibat dugaan praktik kasus korupsi, Der."


"Ya, Bang. Nah, pertanyaannya kenapa sikap rakyat skeptis? Kenapa batin rakyat dibalut kegalauan, Bang?"


Perubahan sudah menjadi tuntutan. Bahkan, perubahan sudah menjadi harapan rakyat. Aku bukan bermaksud memromosikan slogan yang digembar-gemborkan partai politik anyar lewat iklan politik di layar kaca. Rakyat galau dan skeptis karena bangsa ini mengalami krisis figur pemimpin nasional yang kapabel, kredibel, cerdas, aspiratif, dan akomodatif.


Di sisi lain, rakyat juga makin tidak mempercayai peran dan fungsi partai politik mampu mengusung tuntutan dan harapan itu menjadi kenyataan. Jelas ibarat jauh api dari panggang.


"Jadi partai politik peserta pemilu mengembangkan sayap mencari dukungan rakyat dengan berbagai cara, bujuk rayu, dan kalau bisa 'main' kayu. Begitu maksudmu, Der."


Derio tidak menjawab. Dia hanya menganggukkan kepala.
Udara cukup penggap, hari Minggu ini. Apalagi angin terasa kering. Ngobrol panjang lebar ame Derio. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.15.


"Mas, ngelihat suamiku."


Tiba-tiba Ipeh, istri Darlis memotong obrolanku dengan Derio. Ia mencari suaminya karena ada tagihan utang dari 'bank gelap'.


"Enggak tahu, Peh. Sedari tadi enggak kelihatan batang hidungnya Darlis. Di rumah jande Konkom, mungkin. He he he."


"Iye deh, makasih. Asalamualaikun."


"Waalaikum salam."