Print this page

Gogo, Sang Petualang Cinta

Gogo, Sang Petualang Cinta

detaktangsel.comCELOTEH - Nama panggilannya cukup singkat, Gogo. Padahal nama yang tertulis di akte kelahiran, Gogo Pantes Mangku Perawan. Mungkin karena malu, temen-temen diminta memanggil Gogo.

Lelaki berkaca mata minus ini dikenal pertualang cinta. Sayang, Argo lebih suka perempuan jenis kesemek ketimbang cabe-cabean. Usianya lebih tua darinya.

"Go ada di mana?" tanyaku.

"Surabaya. Istriku, orang Surabaya. Bapak ada di mana?"

"Surabaya, Go!" seruku,

Gogo ajak pertemuan. Ia menawarkan ngobrol di Taman Bungkul selepas salat Jumat. Ya, sekitar pukul 14.00.

Aku mengiyakan. Pertemuan pun berlangsung. Gogo langsung memesan kopi dan es jus alpukat. Tidak lupa membelikan sebungkus rokok filter.

Di warung persis pintu masuk makam Mbah Bungkul. Ayahanda mertua Kanjeng Sunan Ampel. Pertemuan ini mengingatkan sama-sama bekerja perusahaan pers, Sinar Pagi, Tabloid Dinamika, dan Berita Kota di Jakarta.

Sekitar puluhan tahun aku dan Gogo tidak bertemu. Aku meninggalkan Berita Kota dan menerbitkan Berita Pagi di Palembang, Sumatera Selatan. Gogo masih di Berita Kota.

Perjalanan terasa cukup lama. Namun, kenangan itu masih melekat. Sungguh tidak direncana bisa bertemu di Surabaya.

"Pak kerja di mana sekarang?"

"Di rumah alias ganggur, Go," jawabku singkat.

Gogo lebih mendominasi obrolan. Ceritakan kembali masa-masa bekerja bareng. Terutama terkait masalah cewek. Maklum Gogo terkenal juga sebagai 'play boy' kacangan.

Tidak terhitung cewek yang udah dikencani. Rata-rata jenis cewek berusia di atas 40-an. Pada pertemuan ini, tiba-tiba hadir cewek.

Siapa gerangan dia, aku tidak tahu.

Usianya kira-kira berkepala lima. Selang beberapa menit, cewek yang diketahui bernama Lestari Sundari ini memesan tiga mangkok bakso.

Tanpa basa basi kucaplok bakso yang tersedia di meja. Begitu pun Gogo dan Lestari Sundari.

Sambil melahap bakso, aku dan Gogo cerita nostalgia. Selain itu, Gogo juga bahas bisnis kayu senggon. Sementara Lestari hanya menjadi pendengar setia.

"Permisi, Pak!" seru vokalis kelompok pengamen jalanan.

Tanpa diiyain, kelompok pengamen membawakan tembang lawas bernada melankolis. Elang, judul lagu karya Dewa 19. Meski dengan modal suara pas-pasan, menghibur juga.

Pembicaraan berhenti sejenak. Mendengarkan lagu Dewa 19. Di tengah hiruk pikuk pengunjung Taman Bungkul, penampilan musisi jalanan ini percaya diri (PD) banget. Dengan modal gitar, biola, dan gitar bas. Mereka tampil bak grup musik papan atas.

Gogo meronggoh kocek di dompet. Lembaran Rp5 ribu diberikan kepada musisi jalanan tersebut.

"Mas nambah baksonya," kata Lestari Sundari kepadaku.

"Udah, makasih mbak," sahutku.

"Kenyang."

Udara panas Kota Pahlawan tidak membuat Gogo mandi keringat. Pertualangan cintanya tidak lepas dari wanita STW alias setengah tua. Kesan itu yang masih melekat pada diri Gogo.

Aku enggak kaget, apalagi heran. Mungkin sudah bawaan dirinya harus mencintai wanita STW, juga tidak tertutup kemungkinan istri orang.

Kemungkinan pula ada kepuasaan tersendiri bagi Gogo kencan dengan wanita-wanita STW. Selain sudah berpengalaman, bahkan bisa menjadi tempat bermanja ria.

Adalah Taman Bungkul jadi saksi bisu kisah pertualangan asmara Gogo. Lagi-lagi aku menyaksikan kejadian itu kali terakhir sejak berpisah puluhan tahuh yang lalu. Di mana sama-sama menjadi penghuni daerah Ibukota Jakarta.

"Bang, aku sudah beristri lagi. Aku bercerai dengan istri pertama," tuturnya pelan menjawab pertanyaanku.

Gogo tidak mau mencerita kisah pertualangan asmaranya dengan Lestari Sundari. Ngakunya, Lestari Sundari hanya rekan bisnis.

Aku enggak percaya. Dari sorot matanya, ketika Gogo dan Lestari Sundari duduk berdampingan, terpancar pandangan mesra. Gogo, Gogo..., sungguh terlalu!