Print this page

Orkestra Simphoni Nyanyian Residu Politik

Orkestra Simphoni Nyanyian Residu Politik

detaktangsel.comCELOTEH - Nyanyian itu tidak berpengaruh. Syair maupun liriknya sama. Mungkin lebih harmonis bila dibandingkan langgam Jawa.

Semua instrumen yang dimainkan di panggung terkesan tidak melahirkan harmonisasi. Satu-persatu musisi menampilkan kepiawaian masing-masing. Mereka coba memadukan antara suara dan instrumen. Namun tidak memberikan langgam nan syahdu.

Guntur yang getol menyaksikan di depan layar kaca hanya bisa ngedumel dan terkadang terbahak-bahak. Perilaku Guntur ini mengundang Mutiara Ayu Mahadewi cekikikan dalam hati. Tanpa sadar Mutiara Ayu Mahadewi sampai kentut, bau lagi.

"Siapa nih kentut. Bau banget....," kata Guntur sambil membuka pintu agar bau busuk keluar.

Mutiara Ayu Mahadewi diam. Pura-pura menyibukkan diri di depan komputer. Namun, saking enggak tahan. Cewek imut-imut ini kentut lagi. Tentu, bau busuk pun merambah di satu ruangan tanpa dilengkapi alat pendingin.

Kebetulan Alamsyah datang menemui Guntur. Ia langsung menahan napas dan menyepit hidungnya.

"Busyet baunya sedap banget ruanganmu Tur!" seru Alamsyah menyindir.
Merasa disindir, Guntur gelagapan.

"Aduh kebangetan, siapa sih yang kentut. Sumpah, saya tidak kentut Syah," kata Guntur menjawab sindiran tersebut.

Guntur pun uring-uringan. Akibat bau busuk itu, ia tidak konsentrasi menyaksikan dan mendengarkan tayangan orkestra Simphoni Nyanyian Residu Politik di layar kaca. Televisi ukuran 14 inchi pun dimatikan. Dua kipas angin dinyalakan. Mengusir bau busuk keluar dari ruangan tamu.

"Maaf Syah, kamu disambut bau kentut," kata Guntur.

Selang empat detik, bau busuk pun hilang. Guntur menghidupkan kembali televisi. Putra tokoh Koalisi Unggu ini tidak mau kehilangan momen tontonan orkestra yang dimainkan kalangan politisi.

"Kamu kok getol saksiin tontonan seperti ini. Pidato jajaran ketua umum partai politik ini hanya sketsa akrobatik. Mereka menunjukkan kepuasan batin setelah memenangkan pertarungan di pengesahan RUU Pilkada," tutur Alamsyah.

Alamsyah mengingatkan Guntur agar tidak larut mengapresiasi konstelasi politik pascapilpres. Kubu Koalisi Merah Putih sekadar nama. Begitu pun Koalisi Indonesia Hebat. Sementara rakyat dieksploitisir untuk kepentingan sesaat.

"Komentar kamu ngawur, Syah. Kamu cuma bisa menganalis. Namun, tidak bisa mengambil kesimpulan. Ini ruang dan panggung mereka. Biarin aja mereka berakrobatik. Sah-sah saja mereka sajikan tontonan orkestra. Bahkan, nyanyian yang dilantumkan menonjolkan lirik yang mengesankan residu politik pascapilpres," kata Guntur.

Alamsyah tidak berkomentar apa-apa. Juga tidak mengamini pendapat Guntur.Abstan kira-kira sikap yang diambil Alamsyah.

Sementara Mutiara Ayu Mahadewi cengar-cengir ingat masalah kentut tadi. Merasa bersalah, Mutiara Ayu Mahadewi tidak berkutik. Bahkan, ngetik salah melulu.

"Pak udah selesai nih laporan bulanannya. Saya taruh di meja Bapak, ya," ujar Mutiara Ayu Mahadewi.

"Ya.......!" seru Guntur tanpa memalingkan muka.

Guntur sangat serius menyaksikan pertunjukan orkestra. Karena, penampilan kalangan politisi yang berunjuk gigi di panggung politik memukau kalangan pemirsa, termasuk Guntur terbuai.

Tiba-tiba Aji Batu Sungai Dareh nonggol. Tanpa basa-basi ia menyeletuk, mengomentari perilaku Guntur yang sok politisi.

"Tur, Tur .....Kamu kayak pengurus partai aja. Kamu kok serius mengikuti drama politik di Gedung DPR. Aaaach parah elu," kata Aji meledek Guntur.

"Sebaiknya kamu menyelesaikan tugas kampus. Skripsi kamu sampai di mana."

"Kamu salah menilai. Memang itu urusan elit, tapi enggak salah kan kalo aku mengikuti pertunjukan orkestra ini. Apa yang disajikan musisi di panggung orkestra ini pasti tersirat dan tersurat pesan politik untuk pembangunan bangsa. Kita harus tahu hal ini," sahut Guntur.

Alamyah menginterupsi perdebatan antara Guntur dan Aji. Ia mengajak mereka makan bubur ayam sambil cuci mata di Taman Anggrek Nelly Murni. Akhirnya Guntur mengalah demi semangkuk bubur ayam. Ditinggalkan pertunjukan orkestra Simphoni Nyanyian Residu Politik.