Print this page

Program Konverter Kit Mangkrak, Anggaran Rp 15 Miliar Sia-sia

illustrasi, Konverter Kit illustrasi, Konverter Kit

BOGOR-Program ramah lingkungan yang digulirkan pemerintah melalui konversi bahan bakar belum juga berjalan di pemerintah Kota Bogor. Padahal, program yang dikerjasamakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini sudah ada sejak tahun 2009 lalu dan menghabiskan anggaran hingga Rp15 miliar.

Namun, kenyataan dilapangan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang dibangun di Terminal Barangsiang saat itu, kini keberadaanya dipertanyakan, karena sudah tidak ada lagi peralatannya terpasang disana karena lokasinya sudah dijadikan parkiran motor.  Bahkan, kabarnya konverter kit yang terpasangan di seribu angkot sudah banyak dijual karena tidak berguna.

Ketika ditanyakan mengenai hal tersebut kepada Kepala Dinas Lalu Lintas Angkutan dan jalan Kota Bogor, Suharto mengaku, untuk alat  SPBG saat ini telah dicopot dan dipindahkan ke kantor DLLAJ dengan alasan keamanan, hal itu dilakukan selama belum ada tindaklanjutnya dari pemerintah pusat terkait pengiriman gas untuk bahan bakarnya.

Sedangkan untuk converterkitnya masih terpasang di unit kendaraan, dan ia terus memantau keberadaannya melalui pemeriksaan rutin ketika sang pemilik mengurus perizinan kendaraan. “Itu sudah lama sekali, tahun 2009 lalu. Kita menjamin alat itu masih ada di kendaraannya, kita tanyakan ketika dia sedang mengurus izin trayeknya dan rata-rata bilang disimpan dirumahnya,” jelas Suharto.

Alasan kenapa program ini tidak berjalan hingga tahun kempat ini, diakuinya karena kesulitan mencari pihak ketiga sebagai pemasok gas, padahal pihaknya sudah menyediakan empat titik yang akan dijadikan SPBG dari sejak jauh-jauh hari.

 “Kami banyak menuai kendala untuk membangun SPBG, karena persoalannya masyarakat sekitar tidak memberi izin di wilayahnya didirikan SPBG dengan alasan takut meledak,” ungkapnya.

Sejauh ini, kata dia baru satu SPBG yang dibangun dan telah dikerjasamakan dengan pihak ketiga di lahan Terminal Baranangsiang, namun karena pengiriman gas yang dipercayakan kepada pemerintah pusat tidak kunjung datang maka bangunan tersebut mubazir tidak digunakan.

“Mau bagaimana lagi? SPBG tidak bisa dipaksakan dibangun karena pasokan gasnya belum terjamin. Baik pemerintah pusat maupun Perusahaan Gas Negara (PGN) tidak bisa memastikan ketersediaannya,” terang Suharto.

Ketika disinggung alat pengalih bahan bakar atau konverter kit yang dipasangkan ke 1000 unit angkot, diakuinya tidak bisa berpindah tangan atau diperjualbelikan, jika terbukti maka pemilik kendaraan harus berhadapan dengan hukum.

“Harga perunit konverter kit Rp15 juta, dan ada surat perjanjian yang ditandatangin para pemilik angkot, yang isinya terkait perihal kewajiban merawat alat itu. Nanti kami kenakan sangsi, apabila alat itu benar-benar hilang,” tergasnya.

Ia mengaku, sangat berharap janji Kementrian ESDM dengan wacana Kota Bogor akan di support program SPBG dengan jumlah angkot 3.412 saat ini di Kota Bogor, sedangkan pihak DLLAJ sendiri tidak menganggarkan apapun, pasalnya program tersebut adalah rencana Kementrian. ”Kami sendiri sudah membidik 16 trayek dan yang tidak operasi ada sekitar 1.154 angkot,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Organda Kota Bogor, M. Ischak mengungkapkan, sejak terpasangnya alat pada tahun 2009 lalu, sebagian pemilik akhirnya mencabut alat tersebut. Hal itu dipicu karena tidak adanya Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG).

“Dulu katanya dibelakang terminal baranangsiang ada, sudah dibangun ini itu, tapi mana buktinya. Bahkan hingga saat ini belum ada sosialisasi lagi dari pemerintah daerah,” tegas Ishack.

Ia mempertanyakan kelanjutan program yang sempat mendapat dukungan dari pengusaha angkot. Dirinya menilai program converter kit hanya sekedar pemborosan anggaran dan peluang pejabat dalam mencari keuntung.  “Sudah 1000 angkot terpasang tapi program ini tidak berjalan. Padahal kita udah mendukung loh, mau dipasang alat itu,” pungkasnya. (rul)