Diskusi dan Lounching Jurnal MAARIF “Politik Kebhinnekaan di Indonesia: Tantangan dan Harapan”

Diskusi dan Lounching Jurnal MAARIF “Politik Kebhinnekaan di Indonesia: Tantangan dan Harapan”

detakbanten.comJAKARTA - Memasuki awal tahun 2015 kita dikejutkan oleh banyak peristiwa di dunia yang mengoyak perhatian dan rasa kemanusiaan kita. Pada Rabu, 7 Januari 2015 kemarin, kita menyaksikan kebrutalan orang-orang yang melakukan penyerangan dan pembunuhan di kantor redaksi Charlie Hebdo, Paris.

Peristiwa menyedihkan ini mengakibatkan 12 orang tewas dan 10 lainnya luka. Menanggapi hal ini Ma'arif Institute adakan diskusi dan launching jurnal, Menteng, Jakarta Pusat (13/01).

Acara diskusi dan launching jurnal tersebut dihadiri oleh Jalaluddin Rakhmat (Anggota DPR RI Komisi VIII), Pdt. Gomar Gultom (Sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), dan Ahmad Fuad Fanani (Direktur Riset Ma'arif Institute) sebagai narasumber.

Konteks permasalahan inilah yang menjadi alasan redaksi Jurnal MAARIF mengangkat tema "Politik Kebhinekaan di Indonesia: Tantangan dan Harapan" pada edisi terbaru ini, pukul 18.30-21.00 di Aula PP Muhammadiyah Jl. Menteng Raya No. 62, Jakarta Pusat.

Kejadian penyerangan tersebut, menunjukkan bahwa penghargaan terhadap kebhinnekaan belum menjadi sikap hidup pada sebagian orang.

Banyak orang-orang yang menyelesaikan perbedaan pendapat, perbedaan paham, dan ketidaksetujuan sikap dengan cara kekerasan dan bahkan pembunuhan.

Negara punya tanggungjawab untuk memastikan semua warga negaranya dilindungi dan mendapat perlakuan yang sama.

Seperti yang di jelaskan oleh Anggota DPR RI komisi VIII salah satu narasumber acara tersebut. Indonesia memiliki modalitas sosial bahkan politik untuk mengembangkan kemajemukan bangsa secara lebih produktif dan berkeadilan.

"Kebhinnekaan yang merupakan sunnatullah belum menjadi jati diri dan sikap hidup banyak orang. Yang lebih ironis, sikap hidup yang menjunjung sektarianisme dan intoleransi justru banyak dijadikan acuan dan pegangan.

Klaim tunggal kebenaran dan keinginan untuk memaksa orang lain mengikuti pendapatnya, sekalipun itu dengan paksaan, masih mendominasi wajah sosial, budaya, dan politik banyak orang di dunia" tegas Jalaluddin Rakhmat,

Begitupun bapak Gultom menambahkan penjelasannya dari statemen Jalaludin.Di tanah air, prinsip kebhinnekaan yang sejatinya sudah dicanangkan oleh the founding fathers and mothers bangsa ini dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, juga masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.

"Warisan pada masa lalu tentang bagaimana sikap negara yang belum tegas terhadap kelompok minoritas, kelompok yang berbeda dengan mainstream, dan kelompok yang terpinggirkan yang hingga hari ini belum terselesaikan.

Kelompok-kelompok itu masih mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keyakinan dan prinsip keagamaanya. Tak jarang mereka juga menerima kekerasan, baik verbal maupun non verbal.

Padahal, Konstitusi Indonesia secara jelas menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan pada seluruh warganya" ujar Pdt. Gomar Gultom.

Meskipun politik kebhinnekaan Indonesia masih menghadapi banyak tantangan di masa depan, kita seharusnya masih tetap optimis dan mempunyai harapan. Kultur masyarakat Indonesia yang bisa hidup rukun dan damai bersama kelompok lainnya, adalah modal sosial yang tinggi bagi terciptanya politik kebhinnekaan.

Model Islam Indonesia yang moderat dan sejuk yang berbeda dengan Islam ala Arab, juga merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menyemai politik kebhinnekaan.

"Harapan itu juga tampak dari visi-misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang menempatkan intoleransi sebagai masalah pokok bangsa ketiga. Visi misi itu melihat bahwa konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi menyebabkan jati diri bangs a ini terkoyak. Harapan juga nampak dari langkah pro aktif Menteri Agama yang sering berdialog dengan tokoh agama dan kelompok minoritas untuk mencari solusi terhadap berbagai permasalahan sosial keagamaan. Kementerian Agama hari ini juga sedang menyiapkan undang-undang tentang perlindungan umat beragama" imbuh Ahmad Fuad Fanani.

Harapan terhadap politik kebhinnekaan juga terlihat dari banyaknya individu-individu dan institusi-instutusi di negeri ini yang masih percaya bahwa kebhinnekaan adalah berkah dan nilai kebaikan untuk membangun Indonesia yang lebih maju.

 

 

Go to top