Berpasangan Atawa Dipasangkan Part Three (The End)

Berpasangan Atawa Dipasangkan Part Three (The End)

detaktangsel.com– CELOTEH SEKETIKA, Tawa meledak. Kami berdua menyingkir ke sebelah kiri, menjauhi lelaki yang akan membuang kotorannya itu. Sekejap kotoran itu mengapung, mengalir mengikuti arus sungai, menuju ke dataran rendah.

"Sudah seribu tahun lebih, atau sezaman dengan Kerajaan Besemah, penutus batu menjadi mata pencaharian penduduk di negeri ini," Pak Mustarif berkata datar.

Aku cukup terkejut mendengar penjelasannya yang tiba-tiba itu. Tetapi aku masih mendengarnya. Ternyata Pak Mustarif adalah adik kandung Pak Mansyur. Ia masih bekerja di rumah juragan tahu-tempe. Orangnya agak pendiam dibandingkan Pak Mansyur.

Heru hanyut cerita sejarah Masyumi. Partai lama pernah hidup di negeri ini yang sempat dibakar pada masa dulu. Di mana dongeng dan sejenis cerita rakyat ini jadi momok menjijikkan bagi keturunan kader Masyumi.

"Trauma politik namanya," kata Heru.

Heru bukanlah politisi, melainkan aktivis dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) ternama di dunia. Ia sangat mencintai lingkungan yang bersih.

Saking cerdasnya, ia kelola sampah menjadi berguna untuk tanaman yang ramah lingkungan. Sosok pria ini identik dengan pupuk ramah lingkungan. Sayang, potensi warga Pamulang ini diabaikan pemerintah setempat.

"Bujug buneng. Oon banget ya instansi terkait tidak gandeng Heru. Paling tidak, Heru bisa sumbang pikiran untuk selesaikan masalah sampah di Tangerang Selatan," tutur Gatot.

"Ya sih. Coba Heru direkrut menjadi staf ahli mendaur sampah menjadi pupuk organik Top One. Woooh, Tangsel pasti mendunia," celetuk Yayuk, cewek cabe-cabean asal Bambu Apus, Pamulang.

Nama Heru bukan nama asing bagi sejumlah aktivis lingkungan. Soalnya setiap diminta isi acara, pria berdarah Jawa ini suka promosi pupuk buatanya. Biasa, gayanya meledak-ledak mengritisi masalah kebersihan terkait penanganan sampah.

Tidak heran ketika mendengar celoteh Pak Pak Mustarif, Heru meski mendengarkan, tapi tidak tertarik masalah politik. Apalagi menyoal sejarah partai politik. Coba ajak dialog masalah sampah, langsung nyamber dan menguasai panggung dan ruang bicara.

Pantes, Heru memilih merenung di pinggir Situ Cina ketimbang ikut-ikutan sibuk membahas kampanye jelang Pemilu Legislatif, 9 April mendatang.

"Enggak ada untungnya, Pak Mustarif!" seru Heru singkat.

Pak Mustarif mangut-mangut seolah memahami sikap dan perasaan Heru.

"Ya, Mas Heru. Enggak untungnya. Pilihan Mas Heru sudah tepat," sahut Pak Mustarif.

Langit di atas Wilayah Pamulang gelap gulita, mendung. Dari Situ Cina tampak konvoi peserta kampanye terbuka PDI Perjuangan. Selain suara knalpot sepeda motor mereka memekakkan telinga, jalur di depan Palembang Squre makin macet.

Antara rombongan konvoi, sopir angkot, dan pengendara lainnya berebut dan berlomba menghindari jalan yang berlubang. Sungguh, seolah negeri ini sudah kehilangan warga yang disiplin.

"Kong, bagi duit ceban dong!" Aminah, cucu paling bontot Pak Mustarif.

"Minah mau beli parfum Kong."

"Iye!"

Pak Mustarif langsung merogoh saku celana kolornya. Ia mengambil uang cebanan (Rp10 ribu) dan memberikan ke Aminah.

"Makasih ya Kong."

Setelah mendapatkan uang, Aminah langsung ngeluyur. Heru sangat memperhatikan Aminah. Matanya tidak berkedip sama sekali.

Diam-diam Pak Mustarif memperhatikan perilaku Heru.

"Mas Heru, mikirin apa," tegus Pak Mustarif.

"Enggak Pak," kata Heru kelabakan.

Heru lebih kaget lagi ketika Aminah balik nemui Pak Mustarif tidak sendirian. Gadis manis berhidung mancung dan berambut ikal diantar pemuda gagah berani. Pemuda ini bagi Heru sangat dikenal. Bahkan, ia selalu ketemu pemuda satu ini setiap hari.

"Rio, Pak!" Rio sambil jabat tangan Pak Mustarif memperkenalkan diri.

Langkah Ori berhenti dan batal salaman ketika menyaksikan pria gede besar di hadapannya orangtuanya sendiri. Sambil garuk-garuk kepala, Ori terpaksa memperkenalkan diri ama Heru.

Kedua insan ini menutup rapat-rapat rahasia hubungan anak dan orangtua.

"Silakan duduk Mas," kata Heru mempersilakan Ori.

Langit yang gelap gulita perlahan-lahan mulai cerah. Kilatan petir pun hilang. Heru pun pamitan pulang ke Pak Mustarif. Entah ada keperluan lain atau gara-gara kehadiran Ori.

Heru menyaksikan langsung keakraban Ori dan Aminah. Bak pasangan calon presiden-wakil presiden, kedua remaja itu menjalin janji. Janji setia, saling membahagiakan, dan menyongsong masa depan yang lebih baik.

Entahlah, yang pasti, harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Seperti halnya, janji-janji politisi yang ingin menyejahterakan rakyat.

 

 

Go to top