Berpasangan Atawa Dipasangkan Part One

Berpasangan Atawa Dipasangkan Part One

detaktangsel.com– CELOTEH SEKETIKA, Suhu udara lembab, kering. Sinar matahari menyerbu lelaki muda yang duduk termenung di pinggir Situ Cina di Pamulang sampai gerah berkeringat.

Ia tak sendirian. Banyak lelaki dan perempuan sebaya juga duduk di pinggir Situ tersebut. Namun, rata-rata mereka berpasangan.

Tidak seperti lelaki muda belia yang bernama Heru Kusuma Pratama ini. Tak bosan-bosannya, ia melemparkan batu ke Situ. Kalau dihitung, mungkin dah puluhan kali.

Terkadang Heru mengayunkan tangannya, menghancurkan batu-batu di hadapannya dengan sebuah batu juga. Bila batu dan batu itu diadu, maka terdengarlah bunyi prak! Dan batu-batu itu pecah, seirama dengan denyut jantung Heru yang sedang galau.

Sementara bunyi teriakan bocah-bocah yang terkadang serentak membuat suasana agak ramai. Apalagi teriakan pemancing ketika mata kailnya dicaplok ikan. Suasana Situ Pamulang gaduh sekali. Juga terkadang kacau balau.

Saat-saat seperti itu selalu diwarnai dengan teriakan anak-anak sedang bermain, berlarian tanpa memedulikan risiko bahaya ke cemplung ke Situ.

Arus lalu lintas yang lalu lalang menambah suasana makin berisik. Suara knalpot dari sepeda motor RX King terasa memekakkan telinga.

Angin pun mengiring enceng gondok dan potongan kayu mengikuti arus air, seperti seorang gembala yang menggiring kerbau-kerbaunya masuk ke dalam kandang.

Tetapi tetap saja, Heru dan sejumlah pasangan lelaki-perempuan beserta pemacing asik dengan kesibukkan masing-masing.

"Hore...horeeeee......!" seru Sandi Wijaya kegirangan berhasil menarik ikan mujair.

Otomatis Heru beserta pengunjung lainnya tersentak dan menenggok ke arah Sandi.

Berekor-ekor berenang di Situ Cina ini. Keberadaan ikan-ikan menimbulkan gairah dan nafsu pemancing melemparkan kail ke tengah-tengah Situ.

Ada pula sebagian dari pemancing itu pindah tempat dan meracik umpannya dengan kroto, telur semut. Sakit asiknya, di antara pemancing tidak memedulikan kotoran kucing yang menyebarkan bau busuk.

Heru pun pindah tempat. Ia duduk jongkok di tanah yang berhadapan dengan lapak pemancingan yang dikelola Pak Mansyur, pemilik empang keramba di Situ yang bertubuh kerempeng itu.

Dia masih sibuk dengan pekerjaanya. Sesekali kulihat tangannya yang kekar melempar jala ke Situ. Sedangkan Heru mengambil batu yang berserakan. Lalu, ia melemparkan ke air.

Terdengar germecik air ketika batu yang dilempar Heru jatuh. Di sini, ternyata bukan Pak Masyur yang memelihara ikan di keramba.

Usaha ini sudah menjadi salah satu mata pencaharian penduduk.

"Ada yang mengatakan bahwa batu dan koral-koral di sini seperti mahluk hidup yang dapat beranak." Pak Mamsyur memandangi Heru. Sepertinya, sedari tadi dia ingin sekali mengeluarkan kata-kata itu.

"Maksud bapak?"

Dia tiba-tiba tertawa. Wajahnya yang bulat seperti roda truk itu, melompat-lompat bersama tawanya.

"Cilaka, saya harus menyelam ke Situ untuk mengikat dan membetulkan bambu," tutur Pak Mansyur.

Seperti itulah keadaannya terus-menerus. Aku meremas kopi di tanganku yang dibungkus plastik hitam.

"Mungkin papak benar, tapi aku tidak heran. Sebab, tempat ini memang nyaman untuk santai. Ya, karena di sini banyak pemandangan meski hanya orang memancaing dan orang-orang yang sedang galau maupun pacaran."

Pak Mansyur kembali menebarkan jala.

"Bagaimana keadaan negeri ini?" Aku tersentak. "Apakah orang seperti Pak Mansyur serius menanyakan nasib negeri ini?"

"Untuk apa bapak menanyakan itu?"

"Cuma ingin tahu kondisi negeri ini menjelang pemilu."

Pak Mansyur adalah pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Ia adalah aktivis sejak duduk di bangku kuliah. Karena status sebagai PNS, Pak Mansyur tidak berani terang-terangan aktif di partai politik.

Orangtua Pak Mansyur, Abdullah Nasir bin Satar termasuk kader Marsyumi. Gara-gara partai politik ini dibumihanguskan pemerintah saat itu, keluarga Pak Mansyur alergi terhadap kegiatan politik. Kendati demikian, Pak Mansyur masih suka mengikuti konstelasi politik nasional.

 

 

Go to top