Print this page

Konspirasi Politik Kawanan Cacing

Konspirasi Politik Kawanan Cacing

detaktangsel.com- SEKETIKA, WADUH! perut keroncongan, lapar. Padahal udah sarapan jam delapan. Cacing dalam perut kok makin menuntut. Belum lima jam diempani, eeh minta suplemen. Maunya apa cacing-cacing di perut.


Lama kelamaan besar kepala. Udah tahu enggak punya uang, dipalak. Seharusnya mengerti, memahami, dan menghayati. Orang yang digugat punya uang atau tidak.


"Gara-gara cacing perut nuntut minta makan, lantas aku korupsi, ngerampok atau menipu tetangga. Pura-pura lapar agar dipasok makanan. Atau nemui Fatimah di warung, utang makan."


Enggak habis pikir. Jangan-jangan kawanan cacing di perut bersekongkol menggembosi semua organ tubuh. Biar aku sakit perut, mulas dan perih. Terus gelonjotan kesakitan, biar keluar duit untuk ke dokter dan nebus obat.

Tidak tertutup kemungkinan kawanan cacing, bakteri, virus, dan kuman telah berkonspirasi. Sengaja melakukan kegiatan sabotase. Sebarkan intelejen, pasukan para, dan selundupkan senjata jenis sabu-sabu, putauw, serta kecubung dan muchrom.


Ya gusti, penguasa alam semesta. Kenapa di ruang sesempit perut ada persekongkolan. Ada konspirasi, proses pembusukan.


Tak ubahnya dalam kehidupan manusia sebagai suku bangsa. Suka bohong, enggak punya moral lagi, dan sok paling benar.


Bukti yang sangat kuat tergambar, terlukiskan, dan terekam dalam dunia nyata maupun maya, facebook. Banyak obrolan nyoal cinta, bisnis, promosi sampai sebagai ruang pencitraan.


Kebanyakan ya capres dan caleg lakukan pencitraan di dunia maya, facebook. Gratis, pesan bisa dibaca seantero. Menembus ruang dan waktu tanpa menerjunkan tim sukses. Bisa disebarluaskan per detik, menit, dan jam-jaman.


"Armaaaaan!"
"siapa teriak-teriak memanggilku."

Terlupakan perut yang tersandera konspirasi kawan cacing ketika terlihat Cenggek sosok sahabat sedari kecilku semasa di kampung, gang Pengampon, Surabaya, di depan pintu pagar rumah.


"Ta gowok no pesenane sampean Cak. Iki catatan Cak Is sak durunge mati."
"Catatan opo seh nggek. Opo penting gawe aku."
"Sampean wonco disek. Lak ndak ono artinya, yo sampean obong ae."


Maksud Cenggek benar. Dibaca dulu, baru ambil kesimpulan. Ada gunanya atau tidak, buku 'warisan' itu. Belum dibaca kok disimpulkan, enggak bener namanya.


Cenggek tinggal di gubukku selama satu minggu karena ada urusan usaha jual beli mobil bekas. Rencananya, mobil jenis katana dikirim ke Riau.
Selama sepekan tidak ada obrolan yang cukup serius kecuali cerita soal adu balap merpati yang terjadi masih digemari dan nilai taruhannya sampai puluhan juta rupiah per hari.


Sambil ngobrol, aku bolak balik buku 'warisan' cucu pahlawan 10 Nopember tersebut. Saran Cenggek ada benarnya, ternyata isi buku itu menceritakan simpul kaum pergerakan era Orde Reformasi se-Jawa, Bali, dan Sumatera hingga skenario memecah belah kekuatan kaum reformis menjelang Pemilu 2014.


"Bener koen Nggek. Buku ini sangat berharga dan tidak ternilai gawe awakku."
"Suwon yo Nggek."
"Iyo, podo-podo Cak!"

Waktunya bersamaan Cenggek tinggalkan gubukku, lembaran demi lembaran selesai kubaca. Isi buku ini menakjubkan. Sejumlah elemen mahasiswa yang khianati cita-cita Orde Reformasi dibeberkan di buku ini.


Ada kekuatan besar yang mengebiri dan memasung napas reformasi. Akibatnya, sungguh sangat tidak mengherankan bila kebanyakan aktivis kampus bungkam. Semangat dan daya juangnya kendor. Bila beraksi hanya untuk meramaikan suasana politik prapemilu 2014.


Apa yang terbayang di otak, tersirat dan tersurat di buku 'putih' karya almarhum Cak Is. Disebutkan bahwa masalah korupsi di daerah misalnya, bersumber dari perilaku partai politik yang tidak melakukan rekrutmen secara sehat. Partai politik yang buruk, ada kecenderungan tidak memperbaiki pola rekrutmen. Maka imbasnya, ya korupsi tidak akan pernah surut.


Sudah bukan rahasia lagi calon kepala daerah yang akan mencalonkan diri pasti dikenakan 'mahar'. 'Mahar' ini biaya untuk membayar kendaraan partai. Nah, proses politik ini seperti ini jelas tidak baik. Sudah tentu kepala daerah yang terpilih akan berpikir bagaimana mengembalikan modalnya dulu. Karena proses politiknya mengeluarkan modal besar.


"kalau partai politik belum membuat standar baku, tetap sulit memberantas korupsi. Jadi ketika partai politik masih digerakkan oleh pola-pola permodalan atau kapital, pasti zona merah korupsi akan terus terjadi."


Dipaparkan pula perilaku demokrasi yang ditunjukkan oleh pemerintah dan partai politik saat ini terjadi kemunduran yang luar biasa. Bahkan menjurus stuppid (bodoh). Malah perlu dipertanyakan soal keberanian politisi di DPR untuk memilih politik yang sudah ada seperti ini (given). Masalahnya, banyak elit politik yang saat ini sudah merasa dalam zona nyaman (cover zone). Sehingga yang terjadi saat ini, demokrasi pada saat ini lebih bersifat bluffing alias menggertak untuk menakut-takuti lawan.


Di bab lima tertulis, kekuatan demokrasi kita lebih terletak pada kerarifan lokal dan kematangan budaya. Lihat saja, bagaimana para tokoh-tokoh yang lahir untuk mempersatukan NKRI. Mereka itu karena kematangan budaya.

Partai politik harus ikut bertanggung jawab terkait maraknya politik dinasti di sejumlah daerah. RUU Pemilukada harus diperketat agar seorang calon tidak bisa serta merta maju menjadi pemimpin.


"Ya, saya sepakat memang partai politik tidak boleh lepas dari tanggungjawab. Sehingga dalam RUU Pemilukada nanti ada syarat yang sangat selektif."


Politik kekerabatan itu sebenarnya lebih pada penyalahgunaan wewenang seseorang. Karena perjalanan proses demokrasi masih dalam tahapan yang menuntut persyaratan dan kualitas.


Politik dinasti itu adalah tahta yang diwariskan secara turun termurun. Kalau seorang kerabat kemudian terpilih, secara demokratis sudah terpenuhi. Intinya tidak jadi persoalan.


Mau pilkada langsung atau tidak, money politics akan terus terjadi. Jadi kuncinya ada di partai politik dan keadilan dalam pendistribusian uang ke rakyat. Apalagi menjalankan partai itu butuh uang, dan memperoleh kekuasaan juga harus dengan uang.


"Sesungguhnya selama syarat-syarat, kriteria, kompetensi, aturan berdemokrasinya sudah dipenuhi, dan sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak ada masalah. Kecuali ada yang tiba-tiba menjadi caleg.
Perlu pemilih cerdas, agar rakyat dapat manfaat dari pemimpin yang dipilihnya.


Dampak negatif pemilukada langsung ternyata sangat luar biasa. Hal ini dikarenakan pemilukada langsung belum dimaknai untuk memilih pemimpin yang berintegritas dan berdedikasi tinggi.


Karena di daerah-daerah tidak muncul pemimpin yang dari, oleh dan untuk rakyat. Sudah saatnya partai politik berani melakukan instrospeksi diri atau mereformasi, terkait pemilukada ini.


Masalahnya, daerah itu membutuhkan cantolan dan petunjuk. Sementara masyarakat lebih mudah mengenalnya dengan sebutan politik kekerabatan. Hal ini merujuk pada sebuah bangunan kekuasaan yang memiliki cabang dan ranting.


Nah, cabang dan ranting ini sudah diplot menjadi bagian dari kekuasaan. Dengan demikian, politik kekerabatan selalu dimaknai dengan cara pandang yang salah lewat proses demokratisasi elit di level lokal. Karena itu, terjadi demokrasi yang tidak sehat. Padahal proses pemilukada yang diinginkan itu, seharusnya substansial.


Memang tidak bisa disangkal, dalam pemilukada langsung ini partisipasi pemilih naik tajam. Entah karena pemilih itu didorong atas kesadaran atau karena 'dibayar', tidak tahu.

Yang jelas, dalam politik kekerabatan itu memang tidak bisa membersihkan sisa-sisa feodalisme dan primordialisme. Ini cukup kental, bahkan sudah menjadi sebuah subsistem.


Beberapa hari ini, sejumlah mass media cetak, online, dan televisi memberitakan politik dinasti ala Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut-ikutan menyoal masalah tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat pun terkejut akan dinasti politik yang terjadi dalam demokrasi sekarang ini.


Pengertian dinasti sama halnya nepotisme. Adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Pengertian politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara.


"Edan tenan!"


Umpatan bernada kekesalan dengan intonasi tinggi itu meluncur mulus dari bibir pengamat politik Jose Marino. Sosok berideologi sosialis – nasionalis ini 'mencak-mencak' enggak karuan.


Sekali-kali keluar umpatan yang enggak enak didengar. Terkadang pula bikin gelak tertawa. Lucu tidak. Hanya karena 'cadel', ucapannya kayak dipelesetkan. Bisa juga kayak bahasa gaul.


"Pemimpin kita akit kali ya. Capa enggak cesel coal politik aja ayak kerajaan. Ada dinasti-dinastian. Bucet!"
"Amu tau idak Man, Zal. Politik acam ini hambat proces demokasi."
"Apa Om, kita enggak ngerti."
"Elu berdua emang enggak dengeri Om
Hicara."


Om Jose enggak mudah tersinggung meski tahu aku dan Ghozali sengaja godain. Justru Om Jose mesam-mesem. Juga tertawa sendiri bila teman ngobrolnya meledeknya.


Putra tunggal mantan Bupati Bojong Kenyot ini tidak pernah mengubah sikap dan garis politik. Dia sangat mengidolakan Tan Malaka, Sjahrir, Bung Karno, dan Bung Hatta. Pernah ditawari jadi caleg nomor urut satu untuk daerah pemilihan Banten, ditolaknya mentah-mentah.


Sejak lima tahun silam, Om Jose mengritik praktik politik dinasti. Kini dia emosional menanggapi lantaran bukan cuma Ratu Atut, lingkungan kerabat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun melanggengkan praktik politik berbau nepostime ini.


Pria asli Banten ini antipolitik dinasti. Karena dianggap merusak sendi-sendi demokrasi.


"Pejabat kita ini rakus kekuasaan hingga melibatkan beberapa anggota keluarganya dalam menepati posisi yang cukup penting dalam perpolitikan saat ini, Man, Zal."


Perpolitikan dinasti ditenggarai sebagai monopoli kekuasaan. Tetapi, di negara ini terjadinya politik dinasti ialah tidak salah. Walaupun negara ini menganut Demokrasi Pancasila. Jika berbicara dalam mengenai etika politik tentu hal ini salah. Karena tidaklah wajar suatu daerah dipimpin oleh keluarga tertentu. Bahkan, mungkin akan menjadi bumerang tersendiri kepada keluarga tersebut.


"Bagaimana dengan kekuasaan politik dinasti dalam suatu partai politik?"
Partai politik merupakan organisasi yang menyalurkan aspirasi rakyat. Tetapi dalam pemilihan ketua umum partai atau pejabat lainnya rakyat tidak memilihnya, melainkan anggota partai tersebut yang memilihnya.


"Om, kita masih ingat saat zaman Orde Baru. Politik dinasti gencar dilakukan di semua lini pemerintahan. Kita masih ingat bagaimana kita merasa jenuh akan politik dinasti tersebut. Tetapi, saat itu demokrasi merupakan hanya merupakan tipuan belaka. Sehingga kita menuntut hinnga terjadinya adanya reformasi."


Perdebatan tetap bergulir hingga menguasai ruang dan waktu. Seolah tidak mengenal titik-koma. Dan nyatanya politik dinasti masih ada hingga saat ini. Yang penting, jangan membiarkan seseorang atau sekelompok memenjarakan demokrasi negara ini. Rakyat harus memilih pemimpin yang baik dan mencegah terjadinya politik dinasti yang berlebihan. Pada akhirnya akan merugikan rakyat itu sendiri.


"Jangan sampai negara kita kembali ke zaman kelam kembali-lah."