Perilaku yang Palsu (bagian II)

Perilaku yang Palsu (bagian II)

detaktangsel.com- SEKETIKA, Dapat gambaran dari hasil survei itu menunjukkan tingkat ketidakpercayaan publik terhadap komitmen moral politisi hanya sebesar 34,6%. Sementara itu, tingkat ketidakpercayaan publik terhadap komitmen moral politisi meningkat. Namun masih di bawah mayoritas.

"Kini tingkat ketidakpercayaan publik terhadap komitmen moral para politisi makin memuncak menjadi 51,5%. Jika dibanding survei, 8 tahun lalu, mereka yang tidak percaya dengan komitmen moral politisi meningkat kurang lebih 17%."

Alasan kepercayaan publik tersebut meningkat karena pertama, tidak banyak politisi yang bisa dijadikan teladan bagi masyarakat. Mereka melihat banyak politisi yang terlibat kasus korupsi dan kasus moral yang membuat publik ragu terhadap komitmen moral politisi itu.

Kedua, kuatnya politisi yang hipokrit. Artinya, publik menyatakan yang biasanya diucapkan elit berbeda dengan perbuatan.

"Publik menilai elit seakan-akan memiliki dua wajah antara wajah publik dengan berkata-kata baik di ruang publik dan wajah komunal di mana elit tak dapat menyembunyikan kepentingan pribadi sehingga membuat berperilaku yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok."

Ketiga, semakin lebarnya jarak antara klaim keyakinan dan ajaran agama dengan perilaku para elit. Hal ini perlu diperhatikan seluruh pejabat publik tertama oleh partai politik. Jika tidak ada upaya memperbaiki diri, angka golput pada Pemilu 2014 akan meningkat.

"Ketidakpuasan makin meningkat itu ada garis lurusnya dengan antipati pemilih. Maka, bisa jadi angka golput kian meningkat."

"Penghuni planet ini sebagian besar moral dan perilakunya bobrok, ya Zal, Gar!"

Coba baca tulisan ini bahwa akhir-akhir ini, politisi tampak senang melakukan tindakan korupsi dengan modus pencucian uang. Uang dari hasil korupsi dijadikan dalam bentuk barang seperti rumah mewah, mobil mewah, dan barang-barang mewah lainnya.

Yang menyakitkan lagi, adalah uang dari hasil korupsi dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan dan memiliki perempuan-perempuan cantik. Entah dijadikan sebagai simpanan ataupun sebagai istri.

"Pancen edan tenan."

Gardjito melukiskan analisisnya bahwa perkembangan kasus ko­rup­si di Indonesia dapat dibilang fantastis dan ironis. Selain korupsi, perilaku buruk lain politisi adalah senang berjanji kepada rakyat tanpa diikuti tindakan nyata. Banyak politisi yang memberi janji kepada rakyat tanpa bukti nyata yang dapat dirasa­kan manfaatnya oleh masyarakat.

"Lidah tak bertulang."

Pribahasa yang disitir Gardjito ini tampak nyata dalam keseharian politisi-politisi kita. Kenaikan harga BBM bersubsidi misalnya, bukti perilaku politisi yang tidak menunjukkan komitmen baik kepada rakyat. Sebelum dipilih oleh rakyat, mereka berjanji bakal berjuang untuk kepentingan rakyat.

Janji ini hanya kata-kata yang menyakitkan. Semua masyarakat melihat proses voting penentuan kebi­jakan kenaikan harga BBM. Pada voting itu tampak nyata ma­yoritas politisi menampak­kan perilaku arogansi yang tidak lagi mengingat dan memikirkan janji-janji yang pernah di­sampaikan kepada rakyat. Mereka merasio­nali­sasikan kenaikan BBM ber­subsidi tanpa mempertim­bangkan nasib rakyat yang diwakilinya.

Ghozali pun berkomentar bahwasannya perilaku politisi inilah yang menciptakan antipati publik terhadap politisi. Fenomena antipati ini tentu membahayakan bagi berlang­sungnya demokrasi.

"Antipati publik terhadap politisi ber­dampak luas terha­dap per­soalan-persoalan lain seperti lahirnya golput dan lemahnya legitimasi konstitu­sional. Golput sangat berba­haya untuk keber­langsungan demokrasi."

"Mana­kala golput tercipta, secara langsung demokrasi akan sirna. Politik dan ins­titusi-institusi negara diisi oleh segelintir atau sekelompok orang yang mela­ku­kan tin­dakan tanpa rasa tanggung jawab layaknya dalam negara aristokrasi dan monarki."

Di tengah diskusikan perilaku elit politik, Mbok Yem mempersilakan kami menyantap hidangan yang disajikan di meja.

"Monggo diunjuk lho, Den. Ayo Gar dipinarake dahar koncomu kuwe!"

"Inggih Mbok. Ayo santap, apa adanya nih."

Sambil menikmati gudeg Mbok Yem, aku meneruskan pembicaraan. Bahwa masyarakat dipandang sebagai pelengkap penderita bagi kehidupan bang­sa dan negara. Pada sisi lain, golput secara langsung mem­biar­kan persoalan buruk terus berlangsung. Sehingga negara bukan lagi sebagai institusi moral seperti yang dipikirkan legenda politik Plato dan Aristoteles.

Pada konteks ini, bagi masyarakat, negara adalah institusi yang tak berarti. Masyarakat acuh dengan uru­san-urusan politik. Sedangkan para politisi sema­kin leluasa melakukan tindakan-tindakan buruk.

Misalnya, membuat kebija­kan sesuai dengan keinginan dan kepen­tingan politiknya. Insti­tusi atau lem­baga-lembaga negara, bagai boneka yang diatur seenaknya oleh politisi.

"Proses buruk bernegara seper­ti ini mencip­takan persoalan-per­soalan serius berupa kemis­kinan, pengangguran, kelapa­ran, diskri­minasi, krimina­litas, terorisme, dan konflik sosial politik vertikal maupun horizontal. Persoalan-persoalan tersebut telah tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia."

Pertanyaannya, apakah persoalan ini terus dibiarkan? Jika tidak, siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya, mengingat negara Indonesia menganut sistem demokrasi. Maka, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah rakyatlah yang bertanggung­ jawab atas persoalan bangsa dan negara.

Gardjito dengan nada kesal dan emosional menanggapi perilaku elit politik yang sedemikian rupa.

"Ingat lho, rakyat memiliki hak dan kewajiban konstitu­sional untuk membawa bang­sa menuju yang lebih baik, ber­mar­tabat, dan berdaya saing. Masyarakat dapat memilih politisi yang berkualitas, integritas, dan memiliki moralitas tinggi untuk menjadi pemimpin bangsa."

"Masyarakat diharapkan mampu memilih politisi bermoral. Persoalannya adalah ma­sya­rakat sudah telanjur antipati terhadap politik, tidak lagi percaya kepada politisi, tidak lagi percaya kepada hukum serta tidak percaya kepada falsafah dan konstitusi negara."

"Faktor yang melatar­belakangi ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik, falsafah, dan konstitusi negara adalah perilaku buruk politisi. Karena itu, hemat saya, untuk membangun kem­bali kepercayaan masyarakat terhadap politik, hukum, falsafah, dan konstitusi negara dibutuhkan perilaku baik politisi dalam berpolitik. Juga dalam menjalankan tugas dan fungsinya."

Pandangan Gardjito sangat masuk akal dan argumentatif. Gardjito tidak sembarangan. Ghozali hanya mangut-mangut mendengar argumentasi Gardjito.

Sambil melahap opor ayam, Gardjito kembali mengomentari berita utama suratkabar lokal itu dan pandangan Arie Sujito. Gardjito menekankan perlunya partisipasi aktif masya­rakat sipil seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, organisasi masyarakat, budayawan, nega­ra­wan, cendekiawan, dan para agamawan.

Upaya praktis yang harus dilakukan masya­rakat sipil untuk mewujudkan perilaku baik politisi. Di anta­ranya menyadarkan masya­rakat untuk memberikan sanksi politik kepada politisi.

"Sanksi politik untuk menegakkan hukum dengan cara tidak memilih menjadi pemimpin bangsa."

Masyarakat sipil harus menyadarkan masyarakat untuk tidak memilih politisi busuk dengan cara memba­ngun pemahaman politik masyarakat melalui sosiali­sasi dan publikasi.

Upaya mempublikasikan poli­tisi-politisi busuk dipandang sebagai langkah tepat dalam menyadarkan masyarakat dalam memilih politisi seba­gai pemimpin bangsa. Langkah itu dapat mem­buat malu politisi untuk tampil dalam politik. Upaya sosialisasi dan publikasi seperti ini tentu harus didukung oleh semua pihak.

Saking konsentrasi dan fokus membahas top isu yang berkembang di masyarakat, tidak terasa hidangan yang disajikan Mbok Yem ludes. Selain enak dan lezat, perut kami bertiga memang sudah keroncongan sejak meninggalkan Kampus UGM.

Ditambah lagi, otak bekerja terus menganalisi perkembangan dan konstelasi politik di Tanah Air. Selain carut marut, awut-awutan, juga nyanyian rakyat menyoal kenaikan harga sembako, biaya pendidikan tinggi, serta perilaku politisi busuk makin tidak terkendali menyulut kaum pergerakan mengadakan perlawanan.

 

 

Go to top