Dosen Nyentrik (Bagian I)

Dosen Nyentrik (Bagian I)

detak.co.id- SEKETIKA, Selasa, 3 Desember 2010, ingatanku kembali saat berdiskusi dengan Anton menyoal masalah Pemilu. Kebetulan gawean nasional lima tahunan itu enggak lama lagi digelar.

"Di mana Anton tinggal sekarang, ya."
Di tengah melamun, kehadiran Diah Budi Yanti membuyarkan kesunyian hatiku karena kangen Anton.
"Lamunin apa sih elu Man."
"Eeh elu Yan, ngagetin aja. Kok enggak masuk kuliah. Emang ada apa?"
"Enggak ada mata kuliah, Man. Ikutan yo ketemu Pak Tarech, dosen filsafat politik. Mau enggak, Man."
"Mau aja, siapa takut. Apalagi jalan bareng ame elu. Sekarang!"

Jujur, aku emang ada hati ama Yanti. Mau nembak enggak punya modal keberanian.
"Ya sekarang. Masak tahun depan. Ayo cabut!"
Berjalanlah aku bersama Yanti ke ruang kerja Pak Badiono. Sekali-kali kupandang Yanti sambil kugodain dan kucolek tangannya. Huuuh, halus banget.

Sesampai di tempat tujuan, kebetulan Pak Bud, biasa dipanggil, sedang santai. Meski dosen, penampilan Pak Bud bersahaja, nyentrik seperti seniman. Kemana-mana jalan kaki dan naik angkutan umum, termasuk pergi ke kampus ngajar mata kuliah filsafat politik.

"Asalamualaikum............."
"Waalaikum salam. Silakan masuk"
"Sibuk, Pak. Mau ganggu sebentar, ada yang mau kami diskusikan soal mata kuliah, Pak."
"Enggak, santai aja. Tentang apa? Pasti terkait Pemilu. Di mana kita ngobrol, di sini atau di meja ruang kerja."

Pak Bud sambil membawa sepiring singkong rebus. Dus, Pak Bud gembira atas kehadiranku dan Yanti. Ia menyambut hangat dan menjawab ceplas-ceplos. Terkadang diselipi kelakar, sehingga suasana pertemuan menjadi hidup.

Bagi Pak Bud pemilu merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilu dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara. Bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik, di mana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala.

Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dan lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah kemudian naik ke kelas elit lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.

"Di dalam studi politik, pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik, di mana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Adapun di negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara. "

"Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional. Jadi Pemilu adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat."

Pemilu mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam sistem politik yang mewadahi format Pemilu yang berlaku. Melalui Pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya.

Nah dengan begitu, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, pemerintah tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya.

Fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan politik massa dari yang bersifat sporadik dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional. Perubahan politik yang terjadi pada 1998 ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto. (bersambung)

 

 

Go to top